Hari ini, eh tepatnya kemarin deng… timeline FB saya dipenuhi oleh posting video seorang perempuan yang dihujani uang! Huwow! Hidup Bu Dendy! Mungkin ada yang belum tahu soal cerita ini, baiklah… secara singkat akan saya ceritakan kembali.
Konon, perempuan yang dihujani uang tersebut adalah orang ketiga dalam rumah tangga Pak Dendy dan Bu Dendy. Dia, entah bagaimana, atau mungkin dipanggil oleh Bu Dendy untuk datang ke rumah untuk dimaki-maki dan dihujani duit, sementara seluruh proses ini direkam dan tersebar di jagat FB. Itu duitnya bauanyaaaaak banget! Caci maki Bu Dendy ini menggunakan Bahasa Jawa, dan sebenernya agak kocak sih kalau diterjemahkan… kurleb gini, “maumu apa sama Pak Dendy? Kamu maunya apa? Uang?! Nih!” lalu Bu Dendy lempar duit, “kurang? Nih! Makan uangnya! Nih! Cukup buat kamu bikin rumah! Pak Dendy itu kasih uang kamu yang dipake uangku! Hasil kerjaku! Kamu mau uang? Nih makan ni uang!” setiap kata nih, duit berhamburan saudara-saudaraaa…. di akhir video, kita mandi uang… aselik, saya pengen mungutin tuh uang, takrapihin lalu takkarungin buat beli rumah. Nyoh!
Ada yang bilang, ini cuma sandiwara, supaya terkenal. Entah siapa yang bermaksud ingin terkenal, Pak Dendy atau Bu Dendy atau Nyla Nylala, si perempuan bermandi uang? Ada juga yang bilang Bu Dendy dulunya juga merebut Pak Dendy dari istri sebelumnya. Wis lah… sinetron pokokmen.
Saya ndak pingin komentar soal pelakor-pelakoran ini sih… saya malah terhibur sebenernya sama komentar-komentar netijen yang budiman. Kebetulan, beberapa yang sharing video tersebut adalah kawan-kawan yang berbahasa Jawa, ya komentarnya jadi lucu… soalnya, videonya juga kocak sih… “NYOH!!!” sebar duit! Bukannya ndak mau simpati sama Bu Dendy, tapi agak sulit memang konsentrasi pada tragedi rumah tangga yang kemasannya kocak gini. Ah, setiap komedi sebetulnya kan memang tragedi. Lho, piye?!
Jaman sekarang, ketika dunia ada di ujung jempol, sekali klik, maka tragedi rumah tangga akan tersebar sakndonya dalam itungan detik. Bukan lagi lidahmu harimaumu, tapi jempolmu adalah lidahmu.
Sama halnya dengan kisah-kisah intoleransi yang kesebar luas saat ini. Gampang banget nyebarnya. Dan dari situ banyak sekali komentar yang saya baca: jaman dulu kita nggak begini! Lho, ya mblegedhes! Jaman dulu ya udah ada sih, tapi mungkin kamu nggak tahu aja. Jaman dulu ndak ada dunia di ujung jempol, adanya dunia dalam berita aja. TV mung ono TVRI yang dikontrol pamerentah. Ndak ada sosial media yang bisa posting apapun sakarepe dhewe.
Sejak kecil, saya selalu diledekin kresten, haram, kafir, singkek, cino! Mulai dari omongan sampai dipukul. Saya dikucilkan dari pergaulan? Ya sering. Apakah kalian tahu? Nggak. Ya meneng wae. Bahkan ketika saya dipukul karena saya singkek cino, lalu saya balas memukul… lalu pertikaian dilerai oleh guru, saya yang bersalah. Dalam setiap perkelahian, baik adu mulut atau adu jotos, saya selalu jadi kambing hitam karena label saya. Jangan dikira, di sisi dunia cino singkek saya diterima dengan baik… ndak! Cino sendiri punya kasta. Saya ini setengah Jawa, kurang murni… jadi jangan terlalu dekat main sama saya karena nanti ketularan Jawa. Suatu kali, mamahnya teman saya yang Cina, pernah bilang sama mamah saya, “anakku kawin sama wong Jowo, kalau tau gitu… ya mendingan sama anakmu aja ya…” mamah saya langsung njawab, “lho ya Lily belum tentu mau… dia kan mau lihat dunia, bukan cuma mau di Nganjuk, anakmu gak bisa ngimbangi anakku… gak cocok” hahahaha…
Kembali ke topik label saya. Lalu, apakah saya diterima dengan baik di perkrestenan? Ya mbelgedhes… Orang Kristen juga manusia yang penuh prasangka. Saya pernah nggak diajak ngomong sama teman gereja saya karena dianggap murtad masuk Islam sebab saya pakai kerudung ketika Lebaran, dan rumah saya digunakan untuk pengajian. Lho, keluarga saya ini campur. Semua saudara Ibu saya Islam, ketika Hari Raya Idul Fitri, ya sudah sepantasnya kami berkunjung. Pakai kerudung untuk menyesuaikan tema hari itu ya tidak merubah iman saya. Pengajian di rumah, ya itu hanya lokasi… kan ya rumah keluarga. Saya di belakang, membantu menyiapkan konsumsi bukan berarti berubah iman. Sungguh, iman tak bisa berubah hanya dengan kerudung dan mengikuti pengajian. Sama halnya, iman tak bisa diganti dengan hanya masuk gereja atau menerima makanan dari orang Kristen.
Terus terang, saya jengah dan bosan sekali dengan setiap intoleransi yang diteriakkan orang-orang yang konon mendukung toleransi.
Jika ada yang bilang, lo gak pernah jadi minoritas siih… oi, baca kisah saya 2 paragraf di atas! Mau banyak-banyakan keminoritasan? Sini! Pertama, saya ini Kristen – sejak lahir, dididik secara Kristen dan memilih untuk beriman sebagai Kristen. Kedua, saya ini Cina setengah Jawa – tidak bisa sepenuhnya diterima jadi Cina atau pun jadi Jawa, saya keduanya. Dan ketiga, saya perempuan, saya dilarang berpendapat dan kalau berpendapat dianggap judes; saya tumbuh dengan doktrin: jadi perempuan jangan judes nanti nggak ada yang mau ngawinin dan nggak punya masa depan. Untumu. Sampai sekarang saya belum kawin, syukurlah. Kurang minoritas? Kayaknya nggak. Saya boleh playing victim banyak banget lho itu. Bukan, ini bukan soal minoritas saja, tetapi soal kita memilih apa yang ingin kita lihat dan kita perjuangkan.
Apakah kita hanya ingin melihat intoleransi saja? Sibuk menghabiskan energi untuk nyebarin keberadaan intoleransi sementara energi itu bisa dipakai untuk menyebarkan kebaikan.
Sebab di atas semua diskriminasi yang saya terima, ada banyak kebaikan dan keindahan yang saya bisa lihat dari sudut pandang saya. Saya bersyukur dengan semua ledekan kresten, singkek, cino haram, kafir yang saya terima sejak kecil, itu membuat saya jadi berpikir lebih banyak daripada sekedar dunia ini aman. Saya belajar lebih awal bahwa, dunia ini perlu kebaikan untuk mengimbangi kejahatan dan sebaliknya kejahatan ada untuk membuat kebaikan itu lebih bersinar. Saya belajar untuk nggak mudah tersinggung soal kresten ini. Saya melihat juga, ada banyak orang-orang baik yang betul-betul toleran tanpa banyak ngomong. Setiap Natal, gereja kami juga dijaga pemuda masjid. Setiap menjelang bulan puasa, kami selalu kebanjiran apem dari tradisi munggahan yang dikirim tetangga. Setiap Natal, mamah saya akan masak nasi kuning lengkap dan mengirim ke semua tetangga. Kami berbantahan, tetapi tetap hidup dengan baik dan rukun.
Buat saya, untuk apa kita sibuk mempromosikan intoleransi sementara kita bisa mempromosikan kebaikan.
Mbok ya sudah, kalau sudah tahu jelek ndak usah disebarin lagi… sebarin yang baik. Lho, orang biar tahu dan bisa ditindak! Biar pelakunya malu! Yaelah, sini kubilang sekali lagi… bad publication is still a publication, lagipula apa bedanya kalian yang toleran sama yang intoleran kalau sama-sama senengane memaksakan kehendaknya masing-masing?! Wes ta lah… untuk apapun itu, kalau yang jelek-jelek ya untalen dhewe… kalian share video anjing kucing yang lucu-lucu aja… atau video gajah tantrum… atau video lanjutan Pak Dendy…
Ya sudah, kalau nggak suka postingan jelek2 begitu nggak usah dibaca… ya memang, saya sudah hide dan memilih untuk mengabaikan. Ini sekedar saran, MARI KITA SEBARKAN SAJA CERITA KEBAIKAN DARIPADA CERITA YANG MENYEBALKAN! Pakai huruf besar nggak berarti memaksa, cuma biar berasa serius aja.
Eh, balik ke Pak Dendy, apa hubungannya kok ya bisa ke intoleransi ini?! Ya itu… jempol! Jempol siapa? Jempol Bu Deen… ah, wis lah… hujani aku dengan uang, Bu!
Btw, kalau ada yang baca postingan ini sampai kelar… saya minta maaf… aku sudah memperdayamu dengan kisah Pak Dendy! Hahahahaha….
PS: Bonus posting soal pelakor di sini.
Leave a Reply to ruthwijaya Cancel reply