Kami saling menyukai. Tentu saja, jika tidak kami tidak akan berteman sebaik ini. Bahkan boleh dibilang, dia adalah salah satu teman terfavoritku pada saat ini.
Kami bercakap-cakap sejak mata terbuka, mengucapkan selamat pagi dan semoga hari yang akan dilalui memberikan kesenangan. Lalu seharian kami akan bersaing membuat yang lain ketawa; saling menertawakan dan tertawa bersama.
Tentu saja kami saling menyukai. Namun, ya sampai situ saja, sebab kami jatuh cinta dengan orang lain.
“Di kehidupan yang lalu mungkin kita sepasang kekasih!”
“Nggak mungkin, di kehidupan yang lalu aku pasti seorang laki-laki”
“Bisa saja aku perempuan”
“Mungkin tidak kalau kita lahir tanpa jenis kelamin?”
“Mungkin saja jika kamu bisa berpikir seperti itu”
“Tapi mungkin saja di kehidupan sebelum ini kita adalah musuh, kita lahir kembali untuk berdamai”
“Bisa jadi, kita harus menyelesaikan hutang. Jika kita hidup damai, kita bisa mati dengan tenang tanpa khawatir akan hidup lagi”
“Ya, hidup memang melelahkan”
Kami sekutu yang baik dalam menjadikan hidup sebagai kambing hitam. Kedekatan kami sangat menyenangkan. Tidak ada tuntutan bahwa kami harus selalu ada, tetapi kami tau bahwa kami selalu ada. Sungguh, kadang-kadang aku sendiri heran, mengapa kami bisa secocok ini? Tidak ada romantisme sama sekali di antara kami. Kebaikan-kebaikan dan perhatian yang menghangatkan hati hanyalah tanda bahwa kami saling menyukai,
Pernah kutanyakan dengan serius pada diriku sendiri, apa betul aku tidak sedang jatuh cinta? Apa betul aku tidak ingin memiliki laki-laki ini sebagai kekasihku? Dan makin kupikir aku yakin bahwa kami memang tidak sedang saling jatuh cinta. Tidak ada sinar cinta yang mendamba dalam pandangan kami. Juga tidak ada rindu yang menggebu-gebu. Lagipula ia juga sedang tergila-gila dengan kekasih barunya dan aku sedang kasmaran berat pada kekasih lama.
“Aku nggak ngerti, kenapa kamu mesti balikan sama dia sih? Nggak cuma kamu, aku nggak ngerti kenapa orang-orang itu bisa balikan sama pacar lama, putus sambung kayak telepon kurang sinyal”
“Cinta?”
“Astaga! Kamu ini sepertinya pintar”
“Aku pintar dan menawan”
“Aku serius, cukup hanya cinta?”
“Kamu belum pernah jatuh cinta emangnya?”
Lalu aku seperti menusuk ulu hatinya, dan detik berikutnya aku menyesal, baru teringat kisah cintanya yang lampau. Lalu kubilang, “maaf… bukan maksudku… maaf”
“Aku tahu. Aku juga tahu maksudmu kenapa kamu selalu kembali ke dia”
“Dan kamu menemukan cinta baru! Kita ini para pemberani yang selalu jatuh cinta!”
Lalu ia memandangku lama, sayangnya kita tidak saling jatuh cinta.
Dan kukatakan dalam senyumku, bukankah sebaiknya begini? Kita saling menyukai, saling mengasihi tetapi kita kebal terhadap cinta yang bisa membuat kita saling benci.
Jadi kita tetap akan selalu ada satu dengan yang lainnya.
Kupikir juga seperti itu. Kita akan saling menemani dalam perjalanan mencari bahagia ini.
Bagaimana bisa kamu selalu menyuarakan pikiranku?
Mungkin karena aku dan kamu sudah hidup terlalu lama?
Hidup yang berulang dan melelahkan. Tapi senang rasanya punya teman.
Ya, teman yang benar-benar tulus supaya kamu bahagia dengan cinta barumu.
Maaf, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama, kekasihmu itu tak layak mendapatkan kamu.
Ah, itulah cinta.
Itulah cinta.
Leave a Reply