Penakut

Ternyata, saya ini penakut. Saya baru sadar tadi pagi. Sebabnya lagi ngobrolin soal panjat tebing, kemudian saya ingat bahwa saya pernah mencoba wall climbing. Saya dulu melakukannya untuk menundukkan rasa takut saya pada ketinggian. Standar banget, semua orang takut lah sama ketinggian. Saya sih nggak sampai keringat dingin atau jerit-jerit sampai pingsan sih kalau takut, Cuma kaki saya aja yang berasa kayak jelly, rasanya kok ngeri banget kalau jatuh. Tapi saya tahu, jatuh itu hanya ada di pikiran saya, dan semua otot di kaki saya akan menurut pada otak daripada pada ketakutan saya.

Lalu saya ingat banyak ketakutan saya yang lain.

Saya takut menyeberang di jalan raya. Ketika menyeberang, kendaraan-kendaraan rasanya malah nge-gas, nggak mau memelankan lajunya. Saya takut ketabrak.

Saya takut melewati perempatan lampu merah saat jalanan lengang meskipun lampau saya berwarna hijau, saya takutdi arah lain ada yang melanggar lampu merahnya.

Saya takut berdiri di escalator bagian pinggir,kalau jatuh gimana? Bawaan pengen jongkok kalau naik escalator. Sekarang ditambah lagi, saya takut kejepit kalau naik escalator.

Saya takut menyeberang perlintasan kereta, takut sinyalnya nggak beres trus mendadak ada kereta lewat.

Saya takut ular.

Saya takut kelaparan. Jadi saya selalu makan sebelum lapar. Saya takutperut saya yang lapar akan memakan badan saya dan membuat otak saya menjadi bodoh.

Saya takut kalau nggak punya uang. Serius.

Saya takut kepleset lalu kepala saya terbentur batu, lalu berdarah-darah.

Saya takut pada suatu hari, tanah di bawah kita runtuh karena terlalu berat menahan kita semua.

Saya takut mati tanpa sempat membereskan semua hal-hal yang saya anggap belum beres.

Meskipun sedemikian penakut,rasanya saya baik-baik saja. Malah banyak yang menyangka saya nggak punya rasa takut. Baguslah kalau ketakutan-ketakutan itu tidak menguasai saya. Otak saya lebih besar daripada semua ketakutan saya, sehingga si otak bisa memerintah si saya untuk menjalani semua ketakutan-ketakutan itu dengan tabah. Meskipun dalam hati khawatir setengah mati, tangan saya geli lemes dan kaki merinding dingin. Tapi saya baik-baik saja.

Hidup terus berjalan.

Dan sekarang, kamu adalah ketakutan saya yang lain. Bagaimana jika saya tidak bersama kamu dan bagaimana jika saya bersama kamu? Keduanya menakutkan.

Rasanya, bersama kamu lebih kurang menakutkan daripada tidak bersama kamu, dan rasanya, saya cukup berani untuk mengambil risiko untuk berjalan terus, mencari tahu meskipun saya ingin berhenti saja. Semua ketakutan-ketakutan ini melelahkan, tapi hidup belum selesai. Baiklah, mari kita jalani ini semua.

 

Untuk PJ.

4 responses to “Penakut”

  1. Aku itu ndak percaya kamu itu penakut, Ly …
    Yang aku tau … kamu itu pribadi yang menyenangkan 🙂 ramah pada semua orang, bahkan yang baru kenal sekalipun 🙂

    1. ih makasih lhooo… hahaha… tapi memang ketakutan-ketakutan cemen gini aku sembunyikan saja, nggak ada manfaatnya kan… lha gimana, nanti jadi nggak bisa ngapa2in 😀

      1. Ketakutan harus dilawan! Setuju? 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: