Ia menatap karibnya yang resah, lama sebelum akhirnya ia berkata, “jadi kamu masih rajin mengikuti perkembangan si anu?”
“Iya, “karibnya berkata lirih, agak malu-malu. Ada rasa bersalah, tapi juga sebersit pembenaran, apa salahnya?
“Katanya kamu sudah diblok dari semua sosial medianya?”
Kali ini dia benar-benar salah tingkah karena malu, “aku buat akun baru, anonim… aku mengikutinya akun dia dan pacar barunya.”
Ia menghela nafas, “kamu cari penyakit.”
“Iya. Tapi aku juga bisa mati penasaran kalau nggak lihat.”
Ia tersenyum, “jadi, dia sudah punya pacar baru?”
“Sebulan setelah kami putus, tapi baru tiga bulan yang lalu aku tahu bahwa mereka sudah pacaran tiga bulan sebelum kami putus”
“OH!”
“Iya, oh!”
“Sekarang?”
“Mereka baru pulang liburan. Maldives.”
“Ya ampun?!”
“Iya, ya ampun! Ke Bali saja aku harus menyeret-nyeret dia, satu malam dua hari saja! Dia sibuk ingin cepat-cepat kembali karena tak punya banyak cuti. Ini Maldives! Anniversary, mungkin… oh, bukan dia yang posting, pacar barunya.”
Ia menatap karibnya yang kemudian memandang balik dengan kesedihan yang kering, “pacar barunya delapan tahun lebih muda dari aku, lebih mudah sepuluh tahun dari dia, dalam segala hal, baik profesi maupun kemampuan, ia adalah aku lebih muda dan lebih bodoh. Semua drama hubungan mereka ada di akun instagramnya, aku juga menduga, mereka sempat menjauh sejenak, kemudian dekat kembali saat berlibur bersama di Pattaya.”
Ia tampak kehilangan kata-kata.
Karibnya melanjutkan, “hari ini, pacarnya memposting pernak-pernik inside my bag, beberapa foto Polaroid mereka dan ada pas foto mereka berdua. Pas foto untuk catatan sipil.”
Kering.
“Aku memang cari masalah buat diriku sendiri, aku harus menghentikan ini semua; aku sudah harus berhenti, “ karibnya berbisik lagi, “tapi… sepanjang waktu, aku masih ingat dia meskipun aku tak mau mengingat. Aku berusaha sangat keras untuk melanjutkan hidupku. Kucoba semua cara, memberi waktu pada kemarahan, memberi ruang pada kesedihan, memunguti dan membereskan segala serpihan hati, memaafkan diri sendiri, dan berusaha untuk bertemu laki-laki lain, berharap pada pelangi yang muncul setelah hujan, aku bisa melihat pelangi, tapi keindahannya tak lagi menggetarkan, dan kemudian, aku kembali kepada obsesi lama, memata-matainya. Aku tahu, ini menjijikkan, aku menyimpan rapat-rapat ini semua, gengsiku akan habis kalau sampai dia tahu, bahwa aku masih ingin tahu mengenai dia.”
Ia menelan kembali tangisnya, aku juga menyimpannya rapat-rapat, katanya dalam hati. Ia tak sanggup mengatakannya.
Di meja sebelah, es teh tawar yang kutelan terasa pekat mengiris tenggorokan. Rasa karat memberati lidahku yang kelu. Aku juga menyembunyikannya baik-baik, bahkan dari diriku sendiri. Lalu, kusadari bahwa kami semua menelan kembali air mata yang telah kering.
Leave a Reply