Pertambahan umur kali ini, saya lewatkan di Jogja. Kota yang selalu memberi rasa hangat dan membuat senyum terkembang.
Salah seorang kawan saya, dengan sangat baik hati membuka rumahnya dan mengantarkan saya ke mana pun saya mau untuk ‘melunasi’ janji saya terhadap diri saya sendiri. Terimakasih.
Yang terpenting, saya kesampaian mengunjungi Borobudur saat Matahari terbit. Sebenarnya, hal ini ingin saya lakukan dua tahun yang lalu, tapi baru tahun ini kesampaian.
Saya membayangkan romantisnya melihat Matahari yang muncul di ujung cakrawala, perlahan dengan sinarnya yang keemasan menerangi bumi. Kenyataannya, tepat di hari ulang tahun saya, Borobudur diselimuti kabut dan mendung sehingga menutupi Matahari. Blas, nggak bisa liat sunrise lho… Kecewa? Untungnya tidak, karena Borobudur di pagi hari sungguhlah indah. Candi yang megah dikelilingi kabut yang bergradasi cantik sekali, menyelimuti pohon-pohon yang hijau di sekeliling candi. Beberapa kali saya menahan nafas, sambil berkata dalam hati, ya ampun bagusnya… saya membatin, hutan tempat tinggal para jiwa, nampaknya seperti ini. Pekat dengan kabut yang membutakan arah pengembara, sehingga mereka perlu mencuri ingatan para jiwa. Ah, ya… saya terlalu lama berkutat di cerita tentang Lelaki Kayu Manis.
Beberapa teman menebak, kisah tersesat yang telah saya mulai sejak tahun lalu itu adalah tulisan patah hati. Santi bilang, “perumpamaannya jelas banget, Mbak” hahaha… ya memang, saya mengawalinya dari patah hati, kemudian saya tak bisa berhenti bercerita tentang jiwa yang tersesat di Dunia Manusia itu. Sepanjang tahun ini, saya menghabiskan banyak waktu saya untuk berkhayal mengenai hutan tempat tinggal para jiwa, binatang-binatang eksotis yang menyanyikan kebijaksanaan. Banyak hal yang tak bisa lagi saya tulis secara gamblang, atau lebih parah lagi, tak bisa saya jelaskan dengan baik, tapi malah bisa saya artikulasikan dengan baik ketika saya menulis mengenai kisah jiwa, nyanyian para binatang.
Ah, setahun telah berlalu dari saat itu.
Saya masih berdiri di tempat yang sama, namun saya telah berjalan memutar dan belajar melihat hal yang lain.
Lalu, hendak ke arah mana saya berjalan? Entahlah… saya belum bisa memutuskan dan saya tak ingin memutuskannya dahulu. Mungkin, saya akan menengok lagi ke dalam hutan; setelah saya mendapatkan gambaran yang lebih baik dari perjalanan kemarin; mungkin dengan berjalan kembali ke arah dari mana saya datang saya akan menemukan hal baru yang harus saya cari? Mungkin.
Hidup belum selesai. Selamat ulang tahun, Ruth Wijaya.
Leave a Reply