Maya memberitahu semua orang yang mau mendengarkan, bahwa dia sedang patah hati. Seolah-olah semua orang harus ikut menanggung kepedihan hatinya, dukacitanya. Seolah-olah dunia sekitarnya yang harus bertanggung jawab karena ia patah hati. Tak peduli di mana pun, kapan pun… dua bulan terakhir ini, topik pembicaraan bersama Maya hanya seputar patah hati.
“Kurang ajar betul laki-laki ini, berani-beraninya dia bikin gue patah hati ya?!” katanya padaku suatu ketika. Entah untuk yang ke-berapa kalinya. Sungguh, aku mulai merasa ikut patah hati bersama Maya. Maksudku, tadinya aku hanya merasa simpati, turut bersedih bersama Maya, aku menghiburnya. Namun sekarang, keadaan mulai berbalik seolah-olah bukan dia yang patah hati tapi aku, dan Maya yang sedang mendukungku dengan memaki-maki laki-laki yang membikin aku patah hati. Sungguh, aku jadi merasa ikut frustasi dengan keadaan ini.
“Kok dia bisa gitu ya, May?” aku menanggapinya dengan sedih. Ya Tuhan, aku bahkan belum mengenal laki-laki ini! Sebelum sempat memperkenalkan laki-laki terbarunya ini pada kami, tiba-tiba saja Maya mengumumkan kalau dia patah hati. Lho, kapan jatuh cintanya?
Konon mereka bertemu secara tidak sengaja, suatu pertemuan yang dirahasiakan bagaimana terjadinya oleh Maya, ”ini bener-bener random deh… dia ini bukan tipe aku sama sekali, dan kami betul-betul bertemu sebagai teman”
”Kalian dikenalin?” tanyaku waktu itu.
”Nggak penting deh, Ra… pokoknya secara random… pertemuannya pun absurd!”
Aku seketika juga merasa absurd. Berbicara dengan Maya harus memiliki kesabaran. Sebaiknya memang memancing dia bercerita dengan makanan, seperti kalau kita melatih binatang sirkus, kalau kita mau hiburan maka berikanlah Maya harapan untuk makan enak, setelah sepiring nasi Kapau di kantin gedung sebelah yang rasanya merupakan Nasi Kapau terbaik di kavling gedung-gedung perkantoran sini; barulah Maya mau bercerita lebih banyak mengenai pertemuan mereka.
”Sempurna banget ya Nasi Kapau ini… Berasnya pasti diimpor dari Sumatera Barat sana deh Ra. Sama seperti beras Basmati yang memang paduan paling betul untuk masakan India yang berkuah santan kari, beras Solok yang panjang dan kering memang paduan sempurna kuah santan yang kental dengan rasa rempah… saling melengkapi ya… kalau berasnya pulen dan basah, pasti kurang sedap, karena perpaduannya akan bikin soggy. Nasi pulen begitu cocoknya ya sama ayam penyet, setuju kan kamu?”
Aku menarik napas panjang, harus sabar sebelum Maya bercerita tentang laki-laki yang membuatnya patah hati. Biarkan ia mengoceh soal makanan dulu. Makan bersama Maya, seperti sedang syuting acara makan-makan, seperti seorang ahli, ia akan menganalisa dan menjelaskan semuanya. Aku tak pernah pasti, apakah Maya benar-benar tahu atau ia hanya sok tahu saja mengenai semua cerita makanan itu.
”Kamu tahu Ra, yang bikin warung kapau ini lebih enak dibanding semua warung di sekitar sini?”
”Murah!”
”Selain itu!”
”Paling deketlah sama kantor kita, abangnya juga udah kenal jadi cepet dilayaninnya”
”Itu juga sih, tapi yang paling penting adalah konsistensi kuah santannya! Semua kuah santan di warung ini sangat sempurna. Beneran deh, nggak keenceran atau terlalu kental. Dan kuah gulainya ini tepat sekali rasanya, creamy tapi selapis di bawahnya ada rasa pedas cabai… jenius mana yang bisa menyembunyikan rasa cabe di balik santan yang tidak pecah seperti ini… belum lagi kalau makan dirames, semua kuah-kuah itu disiram di atas nasi, campur aduk wangi daun kunyit dari kuah gulai ikan, tapi terasa asam padeh karena kuah kikil dan pedas di lidah dari kuah gulai ayam… luar biasa ya…”
Aku hampir putus asa, kapan ia akan cerita soal laki-laki yang membuatnya patah hati?!
”Menemukan rasa yang tepat itu seperti jatuh cinta, ya kan?”
Ini dia! Aku harus menanggapi yang ini, ”iya betul… semua rasa muncul jadi satu kan, May?”
”Sedih, senang, rindu, bahagia…”
”Patah hati…”
bersambung
Leave a Reply