Aku, terutama menyukai pohon kayu manis, pohon yang rela kukupas tiap lapisannya, dan kubawa dalam lipatan baju. Kayu manis agar semua jiwa menyukaimu.
Pada saat aku masih muda, dan belum mulai menyeberang ke dunia baru, aku pernah bertanya pada nenek kami, ”seperti apa mati?”
Nenek memandangku dengan matanya yang kelabu dan selalu tertutup kabut tua, yang membuatnya seperti tak pernah melihat kami dengan sungguh-sungguh. Namun, ketika memandangku, kabut di matanya memudar dan dengan jernih aku dapat memastikan bahwa ia sedang menatapku dengan seksama, ”seperti apa mati? Aku juga sering menanyakannya pada diriku. Aku sudah tua, melihat ribuan kali Matahari terbit dan menyaksikannya tenggelam, dan sepanjang hidupku, aku telah bertanya seperti apa mati.”
”Nenek tahu segalanya! Jelaskan padaku, aku tak akan menceritakannya pada orang lain. Aku janji.”
”Pertama-tama, Nak, aku tak mengetahui segalanya. Sebagai pencerita, aku memang memiliki pengetahuan yang harus dimiliki pencerita, tetapi bahkan batu abu-abu di dunia yang baru pun tak kuketahui dengan pasti bagaimana mereka menyimpan ingatan jiwa-jiwa. Bagaimana mereka bergerak dalam bayang-bayang. Yang kuketahui hanyalah, batu-batu itu menyimpan rahasia kehidupan di dunia baru karena mereka tak pernah melupakan,” nenek menghela nafas, lalu ia melanjutkan, ”kedua, pengetahuan tentang mati tak pernah diberikan pada manusia, hanya Sang Waktu yang memegang kunci pengetahuan itu. Dan belum pernah ada yang kembali dari dunia orang mati, untuk menceritakan seperti apa mati.”
Setelah dewasa dan melewati maut beberapa kali di laut purba yang memisahkan kedua dunia, aku memahami bahwa maut menjemput dengan berbagai rasa. Namun mati itu sendiri, belum kumengerti.
Aku telah mencium maut yang terasa manis dan beraroma embun pagi. Ketika saling melepaskan diri, kulihat matanya berkilau lagi, ”senang bertemu denganmu, orang asing, kamu berbau seperti kayu manis dan cendana, siapa namamu?” tanyanya padaku, suaranya jernih dan nyaring seperti lonceng bergemerincing. Dan ia mengenali aroma dunia kami, tempat pohon – pohon rempah hidup membagikan rahasianya kepada kami. Aku, terutama menyukai pohon kayu manis, pohon yang rela kukupas tiap lapisannya, dan kubawa dalam lipatan baju. Kayu manis agar semua jiwa menyukaimu. Jiwa yang ini, telah tersihir juga oleh kayu manis. Jiwa yang beraroma embun pagi, kehidupan yang baru.
”Dari mana asalmu?” tanyanya lagi dengan seuara bergemerincing.
”Aku berasal dari negeri tempat para dewa menurunkan semua rempah-rempah. Gaharu dan cendana tumbuh di halaman belakang rumahku, aku bermain bersama pala dan kayu manis sebelum aku bisa mengeja kata-kata, kamu dari mana asalmu?”
”Tempat semua jiwa terikat pada pohon-pohon untuk hidup”
Aku memandang ke kedalaman ingatan yang tampak di matanya, aku ingin mencuri ingatannya namun aku malah membagi ingatanku dengannya. Beginikah bertemu dengan jiwa tua? Apakah ada pengembara sebelumku yang bertemu dengan jiwa yang tua?
Bagian dari Tersesat
Leave a Reply