Mati dengan ingatan penuh akan dia dan tanpa sempat menyampaikan pesan, aku rindu.
Siang ini, aku mengingat siang itu, hujan badai namun kita penuh tawa, membicarakan ketakutan yang berawal dari pertanyaan tentang mati.
“Pernahkah kamu membayangkan caramu mati?” tiba-tiba aku ingin bertanya seperti itu padanya.
Kami sedang duduk memandang hujan badai dari jendela kaca besar di apartemennya. Langit gelap seperti akan runtuh, beberapa kali jendela-jendela kaca bergetar karena suara guntur yang menggelegar.
“Pernahkah kamu membayangkan caramu mati?” ulangku.
“Nggak, aku selalu membayangkan bagaimana bertahan hidup”
Aku tersenyum, “kalau orang lain dengar, mungkin mereka akan menganggap kamu ini sangat positif”
Ia tertawa, lalu bertanya, “apa ketakutanmu? Takut gelap?”
Aku menggeleng, “tapi mungkin ya juga, aku mungkin takut gelap… tapi selama ini aku belum pernah takut pada gelap”
“Binatang?”
“Oh, mungkin aku takut ular… takut sama buaya juga, kadang aku juga takut digigit laba-laba beracun”
Ia tergelak, “laba-laba beracun?” lalu terbahak lagi, “di Jakarta ada laba-laba beracun?”
“Ck! Ya siapa tahu ada tarantula peliharaan siapa gitu lepas… ya namanya juga mencari-cari rasa takut. Ya sepertinya masuk akal kalau aku takut digigit laba-laba beracun”
“Ada lagi ketakutan yang lain?”
“Nggak punya uang?”
Ia tertawa. Lalu memandangku dengan senyum lebar, aku mengamati wajahnya yang maskulin, persegi; rambut-rambut kasar jenggotnya mulai tumbuh membingkai mulut yang sepertinya selebar rahangnya, tertarik lebar memperlihatkan barisan giginya yang rapih. Oh, gigi taringnya yang sebelah kanan agak miring sedikit, dan dua gigi depannya lebih besar seperti gigi kelinci, tapi secara keseluruhan, giginya rapi, dan senyumnya yang memperlihatkan gigi yang membuatku tak bisa bernafas ketika pertama kali kami bertemu.
“Kalau kamu, apa ketakutanmu?”
“Aku takut gelap”
“Oh ya? Masa? Kok kamu nggak pernah bilang?”
“Kamu nggak pernah tanya”
“Kan kita selalu tidur dalam gelap, dulu kutanya, kamu mau lampunya dinyalakan atau dimatikan saat kita tidur, kok kamu nggak bilang kalau kamu takut gelap?”
“Karena kamu nggak bisa tidur dengan lampu menyala, jadi aku mengalah saja, toh aku bisa memeluk kamu kalau aku takut”
“Ah… kalau gitu sekarang kita tidur dengan lampu menyala”
“Kamu nggak mau kupeluk kalau aku takut?”
“Oh iya, kalau gitu, kita matikan lampunya sekarang!”
Ia terbahak, “tapi memang takut gelap ini ketakutan yang cemen banget ya, nggak jantan”
“Kayak Batman!”
“Sayang, Batman klaustrofobia…”
“Oh… iya ya, dia kan kejebur sumur ya?!”
Ia terbahak-bahak, lalu mengusap ujung matanya, “entah kenapa, siang ini kamu lebih lucu dari biasanya… dan membicarakan rasa takut, menjadi tidak begitu menakutkan lagi”
“Mungkin karena di luar hujan badai”
“Lalu?”
“Iya, ketakutan kita sudah jadi petir dan guntur di luar sana… ketakutan kita seperti awan gelap yang jatuh sebagai hujan, lalu lenyap… setelah ini, adalah langit biru. Tidak ada ketakutan lagi”
Ia menciumku, “tidak ada ketakutan lagi,” katanya.
Tidak ada ketakutan, namun ada perpisahan.
Siang ini, ratusan hari sejak waktu itu, aku melihat hujan yang deras turun di halaman. Membasahi daun-daun tanaman sri rejeki yang tumbuh subur. Sendiri. Mengingat dia, terus menerus memutar berbagai kenangan kami. Detik berikutnya, bulu kudukku meremang, aku merasa takut karena tiba-tiba membayangkan mati tertabrak ketika menyeberang jalan saat hujan. Darah membanjir, dan air hujan membuatnya lebih encer sehingga darah lebih cepat mengalir habis keluar dari tubuh. Mati dengan ingatan penuh akan dia dan tanpa sempat menyampaikan pesan, aku rindu.
Untuk kamu, saat kupikir ini semua telah berlalu.
Leave a Reply