Pendongeng menceritakan rahasia langit kepada mahluk tengah, sementara Pengembara, hanya bisa melintasi laut dan menjelajah dunia baru untuk menemukan jiwa-jiwa yang telah melintasi hutan dan memanen ingatan mereka tentang hutan.
Sudah berkali-kali aku melintasi tebing berbatu yang berpunggungan dengan laut purba, yang memisahkan dunia lama dan dunia baru. Nenekku pernah menceritakan kematian yang berada di laut purba ketika aku masih kanak-kanak, dan seperti kebanyakan laki-laki yang dilahirkan sebagai pengembara, kami bukannya jeri mendengar kengerian yang digambarkan oleh Nenek, namun malah berjanji untuk menaklukannya suatu hari nanti.
Pengembara, menyeberangi laut purba dengan gagah berani. Mengayuh jauh meninggalkan dunia lama dan memasuki dunia baru, ketika daratan penuh harapan itu telah nampak di depan mata, mereka lena. Sebagian mati terhisap lubang neraka, sebagian lagi mati mengikuti nyanyian duyung. Tak sedikit juga yang mati karena bahagia. Mati begitu saja, berhenti berdetak ketika melihat harapan.
Aku tak bisa membayangkan mati begitu saja, namun kemudian aku memahaminya ketika menyeberang untuk ke sekian kalinya aku bertemu duyung yang menyanyi sendu. Hampir saja aku lena dibuatnya, mengikuti suaranya masuk ke dalam dunia bawah yang tak kami ketahui seperti apa keadaannya, sebab belum pernah ada yang kembali dari kematian. Ketika aku lepas dari nyanyian duyung, dan tersadar bahwa tujuanku adalah pantai harapan di depan mata, aku seperti meledak dalam rasa senang. Aku tahu sekarang, bahwa pengembara mudah meledak oleh rasa; sejak itu aku paham bahwa pengembara tak boleh memiliki rasa. Aku berusaha menjelaskannya kepada sesame pengembara dari dunia kami, untuk menghindari semua rasa agak mereka tak mati begitu saja, namun mulutku terkunci dan aku melupakan semua yang kutahu. Ketika aku mengurungkan niatku untuk mengungkapkan kebenaran, ingatan tentang rasa dikembalikan padaku. Aku belajar satu hal lagi, untuk menyimpan rahasia laut.
Bukit kapur di punggung laut, adalah tempat yang paling sering kudatangi di dunia baru. Meskipun demikian, aku tak pernah mengenali batu-batunya dengan baik. Dunia yang baru ini selalu berubah setiap kali aku kembali menapakinya. Aku tak pernah menemukan susunan batu yang sama. Nenek kami tak bisa memberitahuku, mengapa demikian keadaan di bukit kapur, karena ia belum pernah menginjakkan kakinya di dunia baru. Ia adalah seorang pendongeng, yang tumbuh besar bersama Bintang- Bintang yang membisikkan beberapa rahasia langit, untuk diceritakan kepada kaum tengah. Aku tak bisa menceritakan apapun mengenai dunia baru kepada Nenek kami, supaya ia bisa menceritakannya lagi kepada pengembara-pengembara muda, aku pengembara bukan pendongeng. Mulutku akan terkunci jika aku menceritakan rahasia.
Kali ini, bukit kapur nampak lebih abu-abu dari biasanya. Bau asin lebih pekat dari terakhir kali aku menapaki batu-batu mati di punggung tebing. Dan saat itulah aku melihatnya. Jiwa yang tua dalam tubuh manusia muda. Kami pengembara telah terlatih mengenali jiwa-jiwa. Memanen ingatan tentang hutan yang telah lama tiada di dunia kami.
Baru kali ini aku bertemu seorang jiwa yang tua, kebanyakan jiwa-jiwa yang kutemui di rumah batu di pusat dunia masih muda dan lelah. Tak pernah aku membaui hutan pada kulit mereka. Jiwa yang nampak sedih di ujung bukit ini beraroma embun pagi, ia baru saja datang ke dunia ini. Aku seperti tertarik magnet ke arahnya. Tersihir oleh aroma embun yang seperti kabut pekat, aku berjalan cepat ke arahnya. Melihat sosoknya yang semakin nyata dan seolah-olah akan menghisapku. Aku lunglai terseret pesonanya. Inikah kematian yang lain?
Semakin dekat, aku melihat ke mata kacanya yang serupa zamrud, beriak hijau seperti daun. Terpesona oleh kedalaman mata jiwa tua, aku seperti dipenuhi oleh rasa, namun pada saat yang bersamaan juga kosong karena rasa.
Inikah mati? Lalu aku mencium maut yang manis dan beraroma embun pagi.
Bagian dari Tersesat
Leave a Reply