Aku belum pernah mengenalnya, qahwa. Kupandangi Lelaki Kayu Manis mempersiapkan minuman pertamaku. Seperti sedang berdoa, ia membaca mantra dan membakar wewangian, lalu membasuh kaki dan tangan kami dengan air yang sejuk dari perut gua. Dari kantung kulit di punggungnya, ia menjerang kelopak bunga dan mendinginkannya, lalu menggunakannya untuk membasuh muka kami yang lelah dan tertutup debu.
”Serumit inikah untuk meminum qahwa?” tanyaku padanya, sambil menikmati harum kemenyan yang memabukkan.
”Tidak tahukah kamu, bahwa qahwa ada tanaman surga yang ditanam sendiri oleh para dewa di tanah kami, tempat semua rempah-rempah berasal. Kau perlu mempersiapkan indera terbaikmu sebelum meminumnya, menikmati aromanya”
Ia membakar qahwa hingga aromanya memenuhi gua tempat kami berteduh. Bau pahit kehidupan seketika menyerangku, namun ada selapis bau manis penuh janji di baliknya.
Aku mengamatinya menggiling biji-biji qahwa yang telah terbakar dengan serius. Alisnya bertaut, matanya tajam bersinar penuh harapan dan ia tersenyum seperti menyimpan rahasia. Rahasia qahwa. Aku menghirup harum bubuk yang menguar di udara dengan rakus, tanpa sadar aku mendesah senang. Betapa harum janji bumi yang diberikan melalui biji-biji yang baru saja kukenal ini. Lelaki Kayu Manis berpaling padaku dengan tersenyum lebar, gigi bagai mutiara berpendar dalam gua yang teduh dan dingin, ”harum ya? Sungguh baru pertama kamu mengenal qahwa?”
”Ya, dan aku tak sabar mencicipinya”
”Tunggu sebentar lagi”
Lalu seperti sebuah tarian ritual, ia menyiapkan secangkir qahwa. Rupanya, ia selalu membawa-bawa sebuah cangkir tanah liat di dalam tas perbekalannya, katanya, seorang pengembara dari negeri rempah-rempah akan selalu membawa perlengkapan minum qahwa ke mana pun mereka pergi. Aku tersenyum, sementara kami, jiwa-jiwa yang tinggal di pohon-pohon, tak pernah memikirkan perbekalan kami, sebab kami hidup dari embun pagi.
Tepat ketika kemenyan di pembakaran mulai habis dan air mawar yang membasuh mukaku meninggalkan aroma terakhirnya, ia memberikanku cangkir yang penuh dengan air qahwa. Kuputar cangkir di bawah hidungku untuk menikmati aromanya sebelum kuhirup airnya, aku seperti tersengat ketika saat cairan itu melewati lidah dan tenggorokanku. Waktu berhenti. Aku tertegun sejenak sebelum berpaling melihat pada Lelaki Kayu Manis yang mengamatiku dengan senyumnya yang paling menawan.
Cairan ini seperti sari buah dengan rasa asam yang segar, namun manis dan pekat, lalu pada sesapan berikutnya kukenali rasa kacang-kacangan yang pernah kutemukan di salah satu pohon di hutan, pada ujung lidah tertinggal rasa pahit yang anehnya menyenangkan. Berbeda dengan apa yang dikatakan Lelaki Kayu Manis padaku sebelumnya, ia memperkenalkan pahit yang datang terlebih dahulu, namun pada lidahku, pahit tertinggal di ujung lidah, meskipun demikian, pahit ini tak mengangguku sama sekali, malah membikin senang. Kini kukenal rasa baru, rasa pahit yang menyenangkan.
”Kamu menyukainya?” tanya Lelaki Kayu Manis.
”Pantas kalian menyebutnya minuman dewa”
Ia tertawa dengan nyaring, lalu rasa hangat di perutku mendorongku untuk mendekatkan diri kepadanya, menghirup lebih banyak aroma qahwa yang tertinggal di kulitnya, dan menciumnya.
Qahwa memberikan kenikmatan lebih banyak pada ciuman.
Tersesat (7) – Tersesat (6) – Tersesat (5) – Tersesat (4) – Tersesat (3) – Tersesat (2) – Tersesat (1)
Leave a Reply