Posting ini mendapat inspirasi terbesar dari pengalaman buruk di Chandara Thai Restaurant di Plasa Senayan, malam tadi.
Siapa yang gak pernah ketemu mahluk bernama complaint? Semua pasti pernah toh, baik itu yang ditujukan kepada kita, atau kita yang mengeluh terhadap pihak lain.
Oh, saya sih sering banget ketemu komplen. Ya, saya tukang komplen juga tukang menyelesaikan banyak komplen; karena pernah merasakan keduanya dengan sama banyaknya, saya tahu bahwa sebenarnya masalah akan selesai setengahnya dengan permintaan maaf terlebih dahulu, konsumen yang marah lebih baik diredakan marahnya lalu dicari solusinya, pun ketika solusi itu tidak ditemukan, yang penting diredakan marahnya.
Namun seringkali, penerima komplen malah menyulut kemarahan pihak yang komplen dengan pernyataan defensif yang arogan. Respon paling arogan yang saya terima tahun lalu adalah dari Pullman Hotel di jalan Thamrin. Oh, dan saya sampai hari ini sangat tidak merekomendasikan hotel tersebut.
Arogansi Pullman, rupanya mendapat saingannya hari ini dari Chandara Thai Restaurant di Plasa Senayan. Permasalahan sebenarnya sangat sederhana, komunikasi yang kurang baik dari pihak Chandara kepada kami sebagai konsumen. Secara singkat (meski susah juga disingkat) begini, Chandara punya kebijakan selama buat puasa membagi reservasi menjadi 2 tenggang waktu, yang pertama pukul 17.30 – 19.30, kemudian yang kedua pukul 19.30 – nggak tahu. Sayangnya, ketika kami melakukan reservasi, informasi ini tidak disampaikan, juga ketika kami datang ke restoran tersebut, sama sekali tidak ada informasi soal tenggang waktu ini. Karena ada satu halangan, salah seorang kawan kami baru sampai di tempat sekitar pukul 19.30, dan untuk mempermudah pembagian pembayaran di antara kami, maka kami minta pesanan yang sebelumnya dibuatkan bon, dan kami akan tambah pesanan baru. Bahkan, pada saat itu pun tidak ada informasi soal tenggang waktu.
Ketika salah seorang staff membawakan bon, barulah dia mengusir kami dengan berkata soal tenggang waktu tadi. Awalnya, saya pribadi, cuma merasa sedikit kesal karena tidak ada informasi soal hal tersebut. Ya, kami juga mau beberes dan pergi, memang tidak ada pilihan. Tapi semenit kemudian saya langsung meledak, karena respon staff Chandara yang sangat arogan. Nada suara, sikap tubuh, pilihan kata… plus, tidak ada permintaan maaf. Ya dia defensif bahwa mereka selalu menginformasikan hal tersebut, dan seolah-olah itu adalah resiko kami untuk diusir jika tenggang waktu berakhir.
Oh, saya tahu rasanya menerima komplen akibat kesalahan orang lain, kesal dan pengen marahnya dobel ke rekan kerja plus ke konsumen yang gak mau tahu itu bukan kesalahan saya. Tetapi, itu bukan alasan untuk boleh memperlakukan konsumen seenaknya.
Konsumen tidak selalu benar. Masalah selalu ada. Tidak semua masalah ada penyelesaian. Tetapi kita berinteraksi dengan manusia beradab.
Valid atau tidak valid komplen tersebut, mantra nomer satu sebagai penerima komplen adalah: minta maaf dengan rendah hati. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri dan itu tidak akan membuat Anda menjadi mahluk hina. Restoran dan konsumen saling membutuhkan jadi satu pihak tidak bisa memperlakukan yang lain dengan seenaknya, tapi posisinya lebih ke restoran yang perlu konsumen, sih. Hidup kapitalisme yang memberikan segudang pilihan kepada konsumen!
Sembari menulis posting ini, saya juga merenung, saya meledak dalam amarah kepada si staff Chandara karena perlakuan dia yang arogan kepada kami, apakah karena saya juga gila hormat? Mungkin. Saya juga manusia, si Mbak tadi juga. Mungkin dia lelah. Saya juga, lelah.
Saya menyesal telah meledak dalam amarah yang sungguh-sungguh sampai suara saya bergetar. Kenapa saya harus marah? Marah membuat saya tidak lebih baik, malah memperburuk. Ah.
Dan posting ini saya tutup dengan, ya sudahlah… jangan makan lagi di Chandara.
Ps. Makanannya gimana? Not bad. Sebenarnya bisa masuk ke dalam salah satu pilihan. Ada menu yang enak tapi ya nggak rugi lah kalau kita nggak makan itu. Masih banyak restoran yang lain yang enak dan pelayanannya baik.
Leave a Reply