Puisi Kopi

Kopi dan Roti,

Saling jatuh hati,

Untuk mewarnai hari,

Selamat pagi!

Saya sedang jatuh cinta, pada kopi. Jatuh cinta yang lagi anget-angetnya, seperti baru ketemu, meskipun soal minum kopi memang sudah dari dulu, bahkan sejak saya masih kanak-kanak.

Dulu saat saya masih berumur 5 atau 6 tahun, saya ingat pembantu kami, Yang Kasinem, selalu menggoreng (sebenarnya sangrai – roasting, karena tanpa minyak, tapi kami menyebutnya menggoreng) kopi sekitar jam 3 atau jam 4 sore, saat saya baru saja bangun tidur. Saya akan duduk di dekat pintu halaman belakang, sambil memandangi Yang Kasinem yang berkain dan berkutang kutu baru, serius di depan kuali mengaduk biji kopi yang mulai harum terbakar. Tak lama sebelum kopi diangkat, beras akan ditambahkan ke dalam kopi lalu kuali diangkat dan ditaburi sedikit gula putih. Kata Yang Kasinem, itu membuat kopi akan mengkilat dan nikmat. Sekarang sih saya pikir, itu akan memberikan sensasi rasa caramel, mungkin. Lalu setelah diangin-anginkan, biji kopi itu langsung ditumbuk di lesung batu. Pada momen itu, saya sudah tak sabar ingin mencicipi kopi dari hasil gorengan siang itu. Ketika secangkir kopi tanpa gula siap, saya hanya mendapat bagian satu lepek – saucer, kopi dituang di saucer supaya agak dingin…  Cara minumnya, saya hirup sedikit kopi, lalu saya menggigit gula jawa. Saya ingat betul, momen-momen itulah yang bikin saya pengen cepat jadi dewasa, supaya punya kebebasan meminum satu cangkir kopi, semuanya untuk saya. Sebab, anak-anak hanya boleh minum satu lepek.

Tapi sudah lama kenikmatan minum kopi seperti itu hanya sampai pada, kopi enak dan nggak enak. Ah… ya.. kopi hanyalah kopi. Oh, enak… oh, cukup ‘nendang’

Sampai beberapa bulan yang lalu, saya takjub dengan secangkir cappuccino yang memberikan banyak rasa, buah-buahan – manis caramel – cream susu yang lembut… Saya jatuh cinta lagi.

Dan jatuh cinta memang menghamburkan semua rasa. Ribuan tahun hidup manusia menjadi indah lagi menye – menye… karena cinta. Karena secangkir kopi, saya jadi romantis berlebihan, berpuisi… belum lagi ambisi untuk mengenal kopi lebih jauh lagi. Semakin ketemu rasa kopi, semakin penasaran, rahasia apa lagi yang ada di secangkir kopi. Revolusi! (ndak nyambung, cuma pengen bilang revolusi aja sih…)

Angkatlah sauh, mari berlayar mengarungi samudera,

Dari Sabang di ujung utara,

Hingga Merauke di ujung timur-selatan,

Melintasi barisan kepulauan Nusantara,

Perjalanan tiada lelah untuk menikmati rasa,

Yang terekstrak dalam secangkir kopi saja.

6 responses to “Puisi Kopi”

  1. Kok waktu kecil cuma boleh minum satu lepek kopi aja? Kalo kopi instan boleh dong? Kandungan kopinya kan sedikit banget itu.. 😀

    1. katanya, kalau sedikit jadi obat biar nggak step (panas) – nggak pernah step juga sih, kalau banyak, nanti jadi penyakit jantung jadi cuma boleh se-lepek 😀 kalau kopi instant, ndak pernah… di kampung kami, kopi itu mahal 😀

      1. Loh lucu ya…. Mestinya kan kopi asli lebih mahal daripada kopi instan yang bisa dibilang kopi-kopian

        1. aku nggak tahu pasti kan masih piyik, jadi mengiyakan saja apa yang dibilang orang tua 😀 seingatku, kami selalu bikin kopi sendiri. Sampai sekarang sih… mamahku masih nyangrai kopi sendiri.

  2. Kopi memang teman setia dalam kondisi apapun~ tanpa kopi nggak bisa produktif 😀

    1. kopi seperti suntikan kreativitas? 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: