Mengapa ada kenangan yang hanya hidup di lidah atau hidungmu? Sementara yang lain memaksa untuk selalu tinggal dalam hatimu?
Mengapa ada pula kenangan yang tak ingin kau simpan karena kau bersikeras tak ingin melupakan yang lain?
Seperti hidup, semua rasa selalu berbeda; asin hari ini akan terkenang berbeda dengan asin esok hari.
Ah, jangan menyusahkan diri dengan kenangan. Macam belum cukup saja kesusahanmu yang telah begitu banyak. Sudah terlalu banyak kesusahan dalam hidup untuk satu kematian yang tak menyusahkan.
(Pohon Ingatan, 29 Agustus 2011)
Apa ingatan yang paling tua yang ada di memorimu? Kalau saya, saat kami menonton tv dan saya dipangku pengasuh, lalu melompat ke ingatan saya mencuri apel ke meja sembayangan. Sementara ingatan tentang rasa yang tertua yang bisa saya ingat adalah roti kismis yang saya makan untuk sarapan saat saya masih TK. Roti jadul dengan rasa butter dan kismis yang banyak, bahkan saat itu saya berpikir, dari seluruh makanan di dunia ini, hanya roti itu yang paling enak. Saya tinggal memanggil ingatan itu dan seketika seolah-olah saya bisa merasakan roti itu lagi di lidah saya.
Saya punya banyak ingatan soal rasa di lidah ini, dan tentu saja, saya mengawetkan memorinya untuk beberapa hidangan yang memang luar biasa menurut saya pada waktu itu dan memanggilnya dari ruang arsip otak, ketika saya ingin merasakan lagi sensasi rasa itu di lidah saya. Roti kismis. Jenang (dodol) bikinan Yang Kasinem. Pindang ikan buatan Bude saya, saya menikmatinya saat SMP, dan sejak saat itu saya selalu minta Bude saya membuat masakan itu setiap saya akan berkunjung, rasanya tak pernah sama, tapi membantu saya mengawetkan ingatan. Champagne pertama saya di Champ Elysee. Sayur bobor bayem yang pertama kali saya makan. Ikan goreng di Tongging. Nasi pecel ndeso. Soft Shell Crab salad di Wan Chai. Cappucino di Chronicle November tahun lalu. Ketoprak Hero Tarogong. Ayam bakar Bu Imas. Gudeg Alun-alun Yogya. Ah… tak ada habisnya, mengingat saya ini sangat menyukai makan.
Lucu sekaligus ajaib, bagaimana otak kita mengawetkan semua ingatan ini. Gurihnya ikan goreng di Tongging dan sambal andaliman pasangannya, saya seolah-olah betul-betul sedang memakannya ketika menuliskan ini. Rasa gurih ikan yang segar, dagingnya yang empuk dan harum air tawar, aroma bumbu bawang putih, ketumbar, sedikit langu kunyit, lalu berpadu dengan pedas di ujung lidah dari andaliman yang adas dan selapis manis dari kecap yang memang kami tambahkan untuk membuat rasa hidangan semakin kaya, saya juga masih ingat rasa aroma Danau Toba yang menguar, udara yang saya hirup memberi rasa tambahan di tekak tenggorokan. Ingatan itu masih jernih meski sudah enam tahun berlalu. Hey, roti kismis merek Delicious itu saya nikmati mungkin 30 tahun yang lalu, tapi rasa butter dari tekstur roti yang lembut dan meleleh di lidah saya masih jelas sekali.
Jika diijinkan, saya hanya ingin mengingat itu semua. Kenikmatan-kenikmatan yang membuat hati saya mengembang dengan hangat dengan aroma harum mentega seperti kue bolu yang baru keluar dari panggangan. Namun, otak menyimpan semuanya. Termasuk rasa logam pada air minum beberapa bulan yang lalu, kemudian rasa karatnya menempel selama berbulan-bulan, mencemari semua makanan yang masuk ke mulut saya. Akhirnya, saya bergantung pada rasa pedasnya sambel udang Bu Rudi untuk menutupi rasa karat yang sangat dominan.
Saya belum bisa memilih, mana yang harus saya ingat dan mana yang sebaiknya saya lupakan. Mungkin saya hanya perlu waktu yang lebih lama untuk belajar sistem pengarsipan otak yang lebih baik.
Selamat menjelang akhir pekan, mari kita siapkan ingatan untuk mengenang rasa Sabtu di hari Senin 😀
Leave a Reply