Pertemuanku pertama dengan manusia di pusat dunia manusia memberiku ribuan pengertian lain yang menyerang kepalaku seperti kilat. Aku melihatnya, sama sepertiku dalam bentuk lain. Ia tak mengenali jiwa pengembara, ia menyapaku dengan bersahabat, dan kemudian kami melanjutkan perjalanan bersama. Ia menertawakan kecanggunganku hidup di dunia manusia, menurutnya aku seperti baru saja hidup, seolah-olah tiba-tiba saja dilemparkan ke dunia ini. Ya, betul… aku memang baru saja melemparkan diriku ke dunia manusia.
Ia, manusia yang baru kukenal ini, terutama menertawakan kebingunganku akan waktu. Berbagai pengertian memang telah ditanamkan begitu saja di otakku, meskipun demikian ada banyak hal yang kumengerti namun sekaligus tak kumengerti. Seperti halnya, waktu. Di hutan, aku selalu protes kepada Sang Waktu yang semena-mena merubah hitungannya, namun kami tak pernah kehabisan waktu sebab hitungan kami pasti. Di dunia manusia, hitungan waktu tak pasti. Tulat, lusa, esok… hanyalah kata-kata kosong penuh janji, sama seperti petikan ‘bahagia untuk selama-lamanya’. Angka-angka di jam tangan manusia hanya seperti janji manis supaya manusia merasa mempunyai hidup yang lebih beradab karena bisa berhitung. Manusia kenalanku tertawa mendengar gerutuanku. Lalu ia menanyakan namaku, aku terdiam. Nama? Haruskah kami semua bernama?
“Bagaimana mungkin kamu tidak tahu namamu? Semua orang punya nama. Nama adalah sejarah seorang manusia. Aku laki-laki, dan aku mempunyai nama laki-laki yang menandai aku laki-laki meskipun manusia lain belum bertemu denganku. Dan setiap aku berkenalan, aku akan menyebutkan namaku supaya orang mengenaliku.”
Kami tak pernah punya nama. Setiap jiwa mengenali jiwa lainnya, hanya pohon yang punya nama, tetapi pohon-pohon tak pernah menyebutkan namanya namun kami tetap mengenali satu dengan yang lainnya.
”Di tempat asalku, kami tak perlu nama untuk saling mengenali”
”Lalu bagaimana kamu memanggil satu dengan yang lainnya”
Aku mengedikkan bahu, satu lagi yang kupelajari di dunia manusia, bahwa tubuh juga digunakan untuk berkomunikasi. Kedikan di bahu, berarti jawaban yang akan kuberikan sebenarnya tak terlalu penting karena aku tak yakin akan jawabanku, bisa juga berarti, aku tak tahu bagaimana mengatakan jawabanku, ”kami tahu jika dipanggil, kami tahu bagaimana cara memanggil tanpa nama. Tahu begitu saja”
”Wow! Jika kalian jatuh cinta pada seseorang, bagaimana membedakannya? Maksudku, kemudian kalian ingin menikah harus ada surat-surat yang diurus, bagaimana membubuhkan nama pada sebuah surat?”
Aku mulai bingung lagi, ”mengapa harus ada surat?”
Manusia laki-laki yang mempunyai nama seorang laki-laki memandangiku dengan tanda tanya besar di matanya. Dan aku mencoba berbicara padanya tanpa kata-kata. Di tempat asalku, kami jatuh cinta begitu saja, tak perlu nama, tak perlu asal-usul karena kami semua berasal dari hutan, cinta hanya cinta. Kami telah ditentukan akan jatuh cinta pada siapa karena masing-masing kami telah terikat pada Pohon Cinta, takdir kami bersambung meski kami belum menemukan satu dengan yang lainnya. Saat menemukannya, dia yang seharusnya kami mencintai, kami akan jatuh cinta begitu saja.
”Oh,” katanya, seolah mengerti apa yang baru saja kukatakan tanpa bahasa manusia, ”kita berasal dari dua dunia yang berbeda, aku mengerti”
Ia mengenaliku sekarang.
Di sebuah persimpangan, kami kemudian berpisah. Ia menjabat tanganku dengan hangat, ”begini cara berkenalan, begini pula kita melepaskan seseorang. Dengan jabatan tangan”
Aku tersenyum, ”ya, akan kuingat”
”Berhati-hatilah, semoga kamu menemukan apa yang kamu cari… dan carilah nama untuk dirimu”
Perjalananku selanjutnya memasuki pusat dunia manusia semakin cepat dan memusingkan, sebab setiap kali aku bertemu manusia baru, ada ribuan pengertian yang tiba-tiba saja dipaksakan masuk ke dalam memoriku. Aku berjalan dengan limbung dan agak kehilangan arah karena mabuk oleh ribuan pengertian baru. Dan saat itulah aku tersesat.
Tanpa sadar, aku memasuki tebing batu abu-abu yang memunggungi laut. Ada bau asin yang mendominasi udara, dan matahari menyeruak lemah dari langit yang juga abu-abu. Lalu aku melihat sebatang pohon yang lelah, kusapa ia, tapi pohon tak menjawabku. Ah. Sedih karena kerinduanku akan hutan yang hijau dan berbau embun, aku duduk di sebuah batu di bawah pohon yang lelah itu. Saat itulah, aku melihatnya. Seorang manusia laki-laki, ia tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya, ia kemudian mendekatiku. Semakin dekat ia, semakin kuat baunya menyerangku. Dan tiba-tiba saja aku seperti tersambar kilat, saat kuhirup udara asin bercampur baunya. Ia berbau seperti kayu manis dan cendana, ada selapis madu juga asam lemon menguar dari kulitnya yang coklat. Aku seperti kembali ke kolam kecil di hutan. Kolam itu dikelilingi oleh pohon cendana, juga gaharu. Ketika malam tiba, air memberi udara harum kehidupan ikan yang bercampur dengan cendana. Laki-laki ini memberiku bau yang mengingatkanku pada kolam kecil di hutan.
Aku menghirup baunya dengan rakus, meskipun tak mengenal namanya, aku sudah mengenali baunya dan tersihir olehnya. Lalu aku melihatnya, ke matanya dengan bola mata coklat yang jernih dan berkliau lembut, lalu lagi-lagi aku seperti dilemparkan kembali ke hutan saat menari bersama kunang-kunang. Ia lalu duduk di batu di dekatku, ”senang berjumpa mahluk hidup lainnya di tebing ini”
Suaranya tak seperti yang kuharapkan, tak ada kelembutan dan itu membuatku waspada, namun sesaat kemudian kewaspadaanku lenyap ketika ia mengulurkan tangan, kami berjabat tangan. Salam di dunia manusia.
Seperti baru melihat tubuh manusia, aku takjub pada tangannya. Tak kulepaskan dengan segera, kulupakan semua aturan dunia manusia. Dengan rasa penasaran kuamati tangannya dengan tulang panjang terbungkus kulit coklat matang dan ditumbuhi rambut-rambut bulu.
Lalu kami saling menatap dan seperti ada magnet yang menggerakkan, kami kemudian saling mendekat dan berciuman.
(Bersambung)
Leave a Reply