Mabuk oleh kegembiraan aku setengah berlari menyeberangi padang berumput menuju bebatuan abu-abu di seberang. Aku memasuki dunia manusia. Tak kuhiraukan berbagai rasa tajam yang menusuk kulit, semua rasa itu seolah berlomba-lomba menanamkan dirinya ke dalam memoriku.
Desa pertama yang kumasuki begitu sepi. Batu abu-abu membisu tak menjawab ketika aku bertanya, mengapa desa ini begitu hening. Aku harus membiasakan diri hanya bertanya pada manusia. Di hutan, kami bisa berbicara kepada siapa saja. Bebatuan yang hijau ditumbuhi lumut, akan menjawabmu tanpa kata-kata mengenai siapa saja yang baru saja mampir dan singgah melepas penat di atasnya. Tanpa kata-kata, tanpa aksara, itulah cara kami bercakap-cakap di hutan.
Di dunia manusia, semua berbeda. Kami harus berbicara dengan bahasa. Pengertian baru ini begitu saja ditiupkan di kepalaku, aku langsung memahami bahwa aku harus berkata-kata agar manusia mengerti aku.
Tetapi, desa pertama yang kumasuki demikian sepi. Kepada siapa harus kugemakan kata-kataku?
Senja hampir turun, langit sore abu-abu kemerahan. Aku menghirup udara yang beraroma kelelahan. Betul kata Pengembara Mimpi, dunia manusia melelahkan. Semua rasa tajam dan pedih. Namun aku menikmatinya. Aku merasa lebih hidup dibandingkan saat aku berada di hutan. Aku harus berjalan dan merasakan lelah pada kakiku saat menapaki tanah keras. Di hutan, aku bisa mengayun kakiku dengan ringan, dan melangkah seperti terbang, kadang kami betul-betul bisa terbang. Saat jiwa kami sedang sangat berbahagia, atau kami sedang mengembang karena cinta, cukup dengan menutup mata membayangkan tempat mana pun di hutan yang akan kami tuju, lalu ayunkan kaki dengan ringan… kami akan langsung sampai di tujuan. Dunia manusia berbeda. Aku harus berhenti sejenak, betisku mulai terasa pegal. Aku menyentuh tubuhku yang baru dan berdenyut lelah. Pengertian baru lainnya ditanamkan di kepalaku, tiba-tiba saja aku merasa aku harus mencari tempat untuk beristirahat. Dan seperti mendengar kebutuhan yang kugemakan di kepala, mataku melihat sebuah bangunan dari batu tentunya, berdiri kokoh di sebelah kiriku. Pintunya terbuka, aku segera melangkah masuk dan menyesuaikan mataku dengan kegelapan ruangan. Kubuka suara menyapa, ”halo… permisi…” aku sedikit terkejut mendengar suaraku, tidak terlalu berat seperti yang kubayangkan, namun juga tak senyaring yang kuinginkan. Sebuah pengertian menyelinap di kepala, suara perempuan yang tak merdu.
Aku meresapi pengalaman baru ini, mendengar suaraku dan mengingat dentingan nadanya. Selama ini, suaraku hanya terdengar di kepala, belum pernah beradu dengan angin.
Bangunan itu kosong. Aku berkeliling ke setiap sudut dan hanya menemukan laba-laba yang merajut kerajaannya. Kusapa dia, kami pasti pernah bertemu di hutan, tapi laba-laba betina itu tak menjawabku, hanya giginya yang berkeletuk menunggu mangsa terjebak jaringnya. Aku sedikit kecewa oleh ketidak acuhan si laba-laba, kami biasa bercakap-cakap tentang merajut jaring kehidupan di hutan, namun sekarang ia tak mengenalku. Tapi sedetik kemudian aku tersenyum oleh pengertian baru yang tiba-tiba ditanamkan di kepalaku, ini dunia manusia… kami hanya perlu bertahan hidup tak perlu lagi sibuk bercakap-cakap dengan jiwa lain. Inilah dunia manusia, hanya untuk bertahan hidup.
Hari-hari pertamaku di dunia manusia, begitu membekas. Ribuan memori baru ditanamkan di kepala. Aku tak bertemu manusia lain atau jiwa pengembara lain hingga bulan berikutnya, setelah aku makin menjauhi perbatasan dunia manusia dan hutan. Makin menuju pusat dunia manusia, batu-batu abu-abu semakin menghimpit, dan baru kutahu, bahwa batu-batu memberati mimpiku tiap malam.
Pengembara Mimpi menemuiku sesaat sebelum aku masuk ke pusat dunia manusia. Ia menyapaku saat senja tiba, di luar kebiasaannya mampir sesaat sebelum pagi.
“Mengapa datang senja?”
“Di dunia manusia, senja adalah perubahan, setiap jiwa yang masih rapuh perlu ditemani agar iblis dan setan tak mencengkeramnya”
“Apakah menurutmu aku rapuh?”
“Tidak, aku kebetulan melewatimu… jadi kupikir, aku menyapamu sekalian. Bagaimana hari-harimu di dunia manusia?”
“Hidup. Aku merasa lelah, namun pada saat yang sama merasa bersemangat karena aku merasakan hidup”
“Tidakkah kau rindu hutan?”
“Sangat rindu, tak kurasa lelah yang berdenyut-denyut di hutan. Aku juga rindu hari tanpa hitungan hari. Hanya daun-daun yang selalu menandai musim. Tapi toh aku masih bisa mengunjungi hutan dalam mimpi. Hanya saja, aku tak ringan lagi”
”Karena kau berada di dunia manusia?”
“Maksudmu?”
“Batu abu-abu akan selalu memberati langkahmu”
“Mengapa begitu?”
“Dunia manusia penuh kesulitan dan kesukaran, batu abu-abu menjadi saksi airmata serta darah yang dikorbankan oleh manusia untuk bertahan hidup. Manusia lupa, tetapi batu-batu tidak, mereka merekam semua sejarah manusia dan menyimpannya dari satu generasi manusia ke generasi berikutnya. Ingatan batu-batu lah yang memberatimu”
“Ah… bisakah kau menghilangkan ingatan batu-batu?”
“Tidak, sejarah akan selalu diingat dan aku tak bisa menghapusnya.”
“Lalu bagaimana supaya aku tetap ringan saat aku mengunjungi hutan di malam hari?”
“Terus berjalan. Terus hidup dan bergerak”
Lalu seperti kedatangannya yang tiba-tiba, Pengembara Mimpi pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan.
Terus hidup dan bergerak, hanya itu yang menjadi peganganku saat ini. Aku berjalan makin mendekati pusat dunia manusia, di mana batu abu-abu menghimpit setiap ruang dan menyisakan hanya sedikit udara untuk kuhirup.
Bagian Pertama – (bersambung)
Leave a Reply to Tersesat (9) | Ruth Wijaya Cancel reply