Pada suatu masa, aku pernah tersesat di dunia manusia, yang dipenuhi dengan batu abu-abu di setiap sudutnya, suasana menjadi lebih monokrom karena langit pun juga abu-abu. Namun, jika cuaca sedang bersahabat, matahari akan bekerja sama dengan baik dengan rintik hujan menghiasi langit abu-abu dengan semburat pelangi yang akan terpantul juga di seluruh permukaan batu abu-abu. Indah.
Aku menukarkan tali merah yang mengikatkanku pada Pohon Cinta dengan sebuah simbol di tangan supaya aku bisa memasuki dunia manusia dan membaur dengan kehidupannya, ikut merasakan sakit yang selama ini tak nyata di duniaku. Meskipun demikian, aku masih bisa ikut terbang mengendarai jiwa-jiwa dan bertemu dengan kaumku saat malam tiba.
Pengembara Mimpi yang memberiku simbol untuk memasuki dunia manusia memperingatkanku, “rasa yang akan kamu alami akan berbeda di dunia manusia daripada di hutan bersama pohon-pohon. Kamu akan menapak pada tanah yang keras dan berkawan dengan batu abu-abu”
“Ya, aku mau masuk ke dunia manusia… aku lelah selalu terikat pada Pohon Cinta, berbicara pada daun yang sibuk bergemerisik genit”
“Rasa di dunia manusia lebih tajam dan asam”
“Aku sering tergores dahan-dahan ketika bergelayutan pada setiap Pohon di hutan, semua dahan beracun, aku bisa menahannya… apalagi cuma sekedar rasa yang asam dan tajam”
“Dan kau harus menukarkan tali merah yang mengikatkanmu dengan Pohon Cinta dengan sebuah simbol di tangan supaya kamu tak berubah menjadi abu ketika memasuki dunia manusia”
“Sejauh ini, aku setia mengikatkan diri pada Pohon Cinta dan hal itu tak memberikan manfaat apapun untukku”
“Pikirkanlah lagi, jiwamu di hutan ini, terikat pada Pohon Cinta dan kau hidup dari membaui embun pagi”
“Katamu di dunia manusia juga ada embun pagi?! Katamu, dunia manusia paralel dengan hutan dan kami para jiwa kekasih bisa hidup di sana”
“Ya, tetapi dunia manusia lebih dingin… rasanya lebih tajam dan asam”
“Apakah aku akan bertemu denganmu? Apakah kau akan mengembara di dunia manusia?”
“Kalau boleh memilih, aku lebih baik tak mengunjungi dunia manusia”
“Tapi kau Pengembara Mimpi!”
“Ya, aku tak punya pilihan untuk mangkir dari dunia manusia”
“Kenapa?”
“Kubilang tadi, dunia manusia tak seindah yang kau bayangkan”
“Tapi aku akan menginjak tanah yang solid, warna yang lebih pekat, rasa yang lebih tajam”
Pengembara Mimpi tertawa, “itu semua yang kuhindari dari dunia manusia, namun tampaknya kau malah menginginkannya”
“Mungkin, kami, para jiwa kekasih akan lebih hidup berada di sana”
“Jadi, kau telah yakin untuk melepaskan diri dari Pohon Cinta dan menukarkannya dengan simbol untuk memasuki dunia manusia?”
“Ya”
“Jalan kembali ke hutan akan sangat sulit, kau tak bisa begitu saja menukarkan simbolmu lalu kembali ke hutan. Boleh dibilang, lebih baik tinggal di dunia manusia selamanya daripada menemukan jalan pulang, kau akan selamanya berada di sana”
Aku terdiam. Tapi apa pula yang kupunya di dalam hutan? Selamanya aku akan bercakap-cakap dengan daun-daun yang bergemerisik riuh, sia-sia menangkap angin dan cemas menunggu datangnya kunang-kunang di malam hari, ”ya, aku masih mau masuk ke dunia manusia”
”Baiklah”
Lalu tak kurasakan apapun, tak ada ledakan atau petir menandai putusnya tali merah yang mengikatkanku pada Pohon Cinta. Hanya sedikit rasa kejut di pergelangan tangan. Kuamati sebuah simbol muncul tepat di area nadiku. Pertama-tama garis siluet membentuk sebuah pola, kemudian perlahan muncul warna-warni mulai mengisi areanya dan ketika tak ada lagi warna bergerak, aku mulai mengenali simbolnya, ”ini seperti bentuk kupu-kupu” kataku pada Pengembara Mimpi.
Tak kudengar jawabannya, ia telah pergi. Dan ketika itu juga aku menyadari bahwa aku telah menginjak tanah yang solid dan bernaung di bawah langit yang abu-abu di sebuah padang yang luas. Kukerjabkan mataku berkali-kali, mulai merasakan pedihnya tiupan angin yang dingin di padang luas.
Aku telah berada di dunia manusia.
(bersambung)
Leave a Reply