Lagi rame soal Bu Menteri yang ber-tattoo, jadi saya perlu ikut-ikutan ngobrasin soal beliau dan kabinet baru, gitu? Nggak sih… hahahaha… untuk tulisan soal kabinet baru, silahkan baca ini dan ini saja… lebih menyenangkan.
Tapi memang, gara-gara rame soal tattoo Ibu Menteri, saya jadi kepikiran soal tattoo dan norma sosial yang berlaku di masyarakat kita, khususnya, perempuan bertattoo.
Tattoo di berbagai daerah di seluruh dunia, sejak dulu, selalu menimbulkan perdebatan memang.
Di satu sisi, tattoo membawa fungsi spiritual, status, juga pengobatan. Beberapa mummy perempuan yang ditemukan di Mesir menunjukkan bahwa badan mereka ditattoo untuk pengobatan. Di beberapa wilayah, tattoo menunjukkan status dewasa, baik pada perempuan atau laki-laki. Ada juga untuk menandai bahwa yang punya tattoo tersebut adalah seseorang yang dihormati dan berkuasa. Tapi di wilayah lain, seperti Jepang, tattoo digunakan untuk menandai perempuan pekerja seks untuk mengkomunikasikan statusnya.
Lalu, sebenarnya tattoo itu apa? Buat apa? Ya, tentu tidak ada jawaban yang pasti buat apaan sih tattoo itu…kalau berdasarkan budaya, jawabannya juga akan tergantung di mana kita tinggal, ya kan…
Meskipun demikian, nampaknya ada satu kesamaan dari semua fungsi tattoo, yaitu tattoo sebagai simbol – pernyataan terbuka dari pemiliknya. Makna dari simbol itulah yang tidak bisa digeneralisasikan.
Saya sendiri memiliki tattoo, dan mengutip seorang teman: tattoo adalah cara saya untuk eksis dengan segala keriaan di dunia, bagaimana saya ingin bersuara dan tampil. Sungguh sinis. Meskipun saya tertawa juga mendengar hal itu. Tidak salah, juga tidak sepenuhnya benar. Ya, eksistensi saya sebagai manusia memang diukur dari buah pikiran saya, salah satu hasil pemikiran saya adalah keputusan untuk merajah sebuah simbol di tubuh saya. Dan, saya perempuan. Tapi justru karena saya perempuan, warga dunia kelas dua – di mana-mana, saya kemudian jadi ingin lantang bersuara, bahwa tubuh kami, para perempuan, adalah milik kami, dan kami bebas melakukan apapun, termasuk mempunyai tattoo.
Betul, mungkin jika saya lahir di lingkungan yang mewajibkan tattoo, malah tubuh saya akan bebas dari rajahan… tapi lingkungan saya memandang tattoo secara berbeda. Hasilnya, berbeda.
Jadi ya gitu. Perempuan dan tattoo nggak sinkron? Ah, sinkron-sinkron saja. Dan tattoo sungguhlah bukan sesuatu yang mesti dijadikan permasalahan besar kok… baik buat yang punya tattoo – nggak usah sensitif semua sindiran soal tattoo itu menyangkut kalian deh… ya udah sih; atau pun yang nggak punya tattoo. It just a tattoo… hanya gambar aja…
Antiklimaks banget ya postingnya?! 😆
Jadi ya gitu, udahlah… nggak usah ngeributin atau ngebelain tattoo-nya Bu Menteri, udah lah ya… tattoo akan selalu jadi perdebatan. Mari ributin aja kalau Bu Menteri ternyata nantinya nggak bisa kerja. Gitu.
Etapi, boleh ya saya colongan di meri, dalam hal tattoo Bu Menteri ini, saya salut sama Pak Presiden loh… beliau berani mendobrak hal-hal yang selama ini ditabukan, seperti hal-nya perempuan bertattoo ini. Pemilihan menteri ini pasti nggak gampang, dan pasti sudah diketahui latar belakang sang calon sampai ke dosa terkecilnya, toh… tetapi kalau kompetensinya memang layak untuk dijadikan menteri, maka tetap dipilih tak peduli ada tattoo. Hebring, berani pisan si bapak ya… ini pasti sudah diukur dah, gimana nanti ada yg protes, gimana beliau nanti akan dikomplen… tapi ya tetap dijalankan… berani. Semoga ya Pak, pilihan Bapak ndak salah… semoga Indonesia menjadi lebih baik. Amin.
Leave a Reply