Keminter

Tadi sore, bercandaan sama Manusia Laut soal kata-kata mutiara bikinan nyokap. Salah satunya: tidur itu secukupnya aja, jangan dihabisin buat satu hari, simpen buat jatah tidur besok.
Iye, bijaksana banget dah mamah saya ini.

Pas mau tidur, saya malah jadi inget kata-kata hits dia yang lain, yaitu: jangan keminter, orang pinter beneran gak akan keminter. Ini bisa diubah sesuai kondisi, lain waktu jadi: jangan kemayu, yang kemayu itu tandanya nggak ayu.

Kalau diingat-ingat, kata-kata itulah yang bikin saya selalu menahan diri untuk nggak lebay. Meskipun banyak kesrimpetnya (saya njeplak juga) dan mamah saya benernya ratu lebay. Tapi bener deh, setiap kali saya hendak berbicara di muka umum, berpendapat sesuatu hal apalagi yang berkaitan dengan yang lagi heboh di masa kini, saya malah merasa, kok aku keminter banget sih. Trus mingkem dan menyimpan pendapat itu untuk diri sendiri.

Di satu sisi, hal ini sih bener juga ya. Apalagi di jaman social media sekarang, saat semua orang punya medianya sendiri untuk mempublikasikan pendapatnya dengan cepat dan bebas. Ada heboh apa dikit, langsung keluar sikap: I should comment on this, otherwise people will think that I know nothing; and to show that I care. Yang kemudian pendapat itu kadang-kadang malah keluar dari konteks permasalahannya dan malah bikin yang baca berkomentar, “goblig banget sih? Ngerti masalahnya nggak sih dia?”
Peringatan soal jangan keminter yang sudah tertanam di alam bawah sadar saya, selalu menghentikan jempol saya untuk membalas hal-hal yang saya anggap sudah keluar dari permasalahan yang dibahas. Saya berpikir, ngapain sih gue ikutan ngeramein percakapan? Itu pendapat orang, meskipun pendapat goblog, well, itu pendapat mereka, dan sah-sah aja, nggak semua orang harus pintar.
Padahal, dengan berpikir itu saja saya sudah keminter. Gak perlu komentar terbuka untuk jadi orang keminter… ya kan? 😆

Sisi lain, kadang saya pengen juga meluruskan hal-hal yang saya anggap sudah keluar dari konteks. Pengen juga memberitahu orang mengenai apa yang sudah saya tahu, sebagai pertimbangan, bahwa pendapat saya sepertinya lebih masuk akal. Trus biar cepet kelar pembahasannya.

Kebanyakan, pertimbangan pertama lebih sering menang. Baruuuu saja saya mendapat pencerahan apa di balik tindakan saya itu. Benarkah itu karena saya takut keminter sebab saya menganggap saya beneran pinter atau sebenarnya malah saya takut kelihatan tidak pinter?
Sek… sek… ini kalimat maksudnya sama saja sih 😆

Lalu maksud posting ini? Emh… tiba-tiba aja saya kepikiran kata-kata mamah saya dan kemudian terkoneksi dengan keadaan sekarang. Seseorang yang secara konsisten mencitrakan dirinya dengan label tertentu, biasanya di kehidupan nyata mah malah sebaliknya. Bijaksana, pintar karena tahu semua hal -semacam wikipedia, pengertian, mengajari orang tentang makna hidup, bagaimana bersikap dengan orang lain… ah, situ baiknya jadi guru SMP aja sih, noh anak SMP noh yang masih perlu nasihat soal hidup. Yang tua macam kita sih kasih aja cermin, biar ngaca sendiri.

Ya gitu deh.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: