Pernah denger istri diperkosa suaminya?
Pernah denger perempuan diperkosa pacarnya?
Pernah denger guru memperkosa muridnya?
Pernah denger bukan siapa-siapanya, kenalan memperkosa kenalannya?
Pasti semua pernah denger lah ya… Dalam pikiran saya dulu, perkosaan selalu kekerasan fisik. Mau diperkosa ya digebuki dulu.
Tapi, ternyata makin ke sini, saya jadi makin banyak dengar, perkosaan nggak selalu didahului dengan gebuk-gebukan. Perkosaan nggak pake anthem-antheman, terjadi berkali-kali pulak. Ya kebanyakan yang gini, ya model perkosaan yang di atas itu.
Celakanya, si korban perkosaan dimanipulasi & diintimidasi sedemikian rupa sehingga dia malah berpikir perkosaan itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Oh, nggak…saya nggak mau ngebahas kasus yang lagi rame. Saya sudah ngoceh kemarin. Tapi ya, gara-gara itu juga, ingatan lama mendadak muncul.
Dulu waktu saya masih SMP, saya dan teman-teman perempuan, pergi ke bazaar malam. Kami pergi berombongan, berpura-pura kami lebih dewasa dari umur kami karena berpergian malam (jam abis maghrib lah) tanpa orang tua, hanya bersama teman. Senang. Kami akan menukarkan kupon makan di booth SMP kami. Di tengah perjalanan, tiba-tiba beberapa anak laki-laki yang lebih besar dari kami lari menerobos dan memegang dada salah seorang teman saya. Seketika itu, diserang rasa panik dan malu, teman saya langsung menangis. Belum habis kaget dan panik kami, rombongan anak laki-laki itu lewat lagi dan kali ini pantat saya yang jadi sasaran. Spontan saya lari mengejar mereka, dan menarik salah seorang anak laki-laki rombongan mereka, tak peduli dia yang memegang pantat saya atau bukan, yang penting rombongan mereka; lalu saya tendang dia, saya pukul, saya cakar, pokoknya saya lampiaskan marah dan kaget saya, makin menggila karena anak laki-laki ini melawan. Saya tidak berhenti sampai saya ditarik oleh orang-orang di sekitar. Ketika ditanya, kenapa kami berkelahi, saya malah nggak bisa ngomong saking marahnya dan memukul lagi 😆 setelah tahu duduk permasalahannya, orang-orang dewasa itu cuma bilang, “oalah gitu aja toh, kirain diapain… ya kalian jangan centil-centil”
Hal itu berlalu begitu saja. Padahal, sampai beberapa hari sesudahnya, kawan saya selalu maktratap kalau dengar suara kaki lari gedebukan di belakangnya, saya yang memang galak bawaan bilang gini ke dia, “kalau kamu dipegang-pegang lagi, kejar dia…jangan nangis aja… kejar trus sadhuken manuke! – tendang penisnya!” Tapi ini nggak mempan, teman saya malah takut, dia berpikir mungkin dia memang salah, karena orang dewasa yang ada saat itu bilang, kami centil. Saya nggak ngerti, kenapa dia takut? Peduli setan sama orang dewasa yang bukan orang tua kami, mereka kan nggak lihat waktu kejadian, kenapa kami harus mendengar omongan mereka? Saya nggak suka pantat saya dipegang, saya salah atau benar, saya nggak peduli, yang penting saya nggak suka. Dicolek, ganti tendang. Saya kemudian malah dianggap aneh, pemarah dan egois. Ya nggak salah sih yang anggap begitu. Ya sudah, saya nggak bicara lagi, karena hal itu malah bikin saya marah, dibelain kok gak mau. Dia juga harus bisa bela dirinya sendiri dong! Jangan nangis aja!
Kok bisa sih, dia nggak berbuat apa-apa? Malah nangis aja dan ketakutan. Kalau dia benar, untuk apa takut? Saya lebih baik mimisan akibat gebuk-gebukan daripada nangis berhari-hari dan ketakutan terus.
Saat itu saya belum mengerti, dunia ini tidak berisi orang-orang yang modelannya kayak saya semua, yang dicolek trus balas tendang.
Saya lupa peristiwa ini, tapi tiba-tiba kemarin ingatan ini muncul. Saya jadi merasa bersalah ke temen saya, kok dulu saya nggak sabar gitu ya…kok saya nggak memahami dia sih… halah… ya anak SMP gitu lho…memahami diri sendiri aja nggak becus apalagi memahami orang lain. Etapi sampai sekarang belum paham juga sih 😀
Ya gitu. Saya malah inget temen saya ini, trus makin mesake sama korban-korban perkosaan yang modelannya nangis melulu. Ngengkleng. Menyesali diri sendiri; ini salahku, aku memang bodoh, aku lemah, seandainya aku waktu itu lebih berani, seandainya aku lebih kuat…ini memang salahku.
Trus penyesalan ini makin diberi angin dengan komentar-komentar: kamu memang salah nggak bisa jaga diri, kok mau pergi sama orang itu… kok bisa kamu percaya? Berkali-kali diperkosa pula, kok bisa?! Kok mau?!
Ya benernya nggak mau, tapi nggak bisa melawan. Kok bisa nggak melawan?!
Yaaaa…. dunia ini nggak semuanya berisi orang yang bisa melawan. Nggak semua orang punya keputusan untuk lari mengejar pelaku trus nyadhuk manuke saat itu juga.
Kalau sudah begini, jadinya ra uwis-uwis. Mari kita uwisi saja dengan pesan: kalau diapa-apain, SADHUKEN!!!
Leave a Reply