Tiba-tiba tadi pagi saya teringat seorang penulis/penyanyi/selebritis yang beberapa tahun lalu saat bercerai dari suaminya yang seorang penyanyi, dia menulis di blog-nya, bahwa segala sesuatu ada masa kadaluwarsanya termasuk cinta dan perceraian memang harus terjadi, lagipula untuk apa mempertahankan pernikahan hanya untuk anak, mengapa harus membebankan tanggung jawab kepada si bocah. Kurang lebih begitu deh. Saya lupa persisnya bagaimana. Intinya, saya terganggu selama beberapa waktu dengan tulisannya tersebut.
Saya mengomel-omel, dasar penulis… ya jelas aja dia pinter membela diri. Saya setuju pada poin tidak selayaknya pernikahan dibebankan pada seorang anak. Tapi saya sangat terganggu pada poin: segala sesuatu ada masa kadaluwarsa termasuk cinta.
Jadi, kalau suatu saat saya mencintai seseorang, maka orang itu harus dengan jeli membaca tanggal kadaluwarsa. Begitu juga sebaliknya.
Ah.
Mungkin memang benar begitu. Ada orang yang dulu cinta, dan sekarang nggak cinta lagi. Cintanya sudah kadaluwarsa. Ada orang yang dulu berteman dan sekarang nggak berteman lagi. Pertemanan yang kadaluwarsa.
Ah nggak gitu juga kali ya!
Dulu cinta, sekarang nggak cinta… pasti ada alasan di balik itu. Mungkin mentang-mentang sudah jadi pasangan, trus nggak berusaha untuk tetap menarik, kan orang juga jadi bosan. Rasa bosan yang menumpuk, lalu tiba-tiba saja rasa bosan mendominasi, cinta jadi kalah. Atau misal si pasangan tukang nampar, yaaaa… gimana masih bisa cinta. Ada alasannya, bukan sekedar kadaluwarsa.
Putus pertemanan, selalu ada alasan juga. Ya masak ujug-ujug karena kadaluwarsa?!
Bahkan, masa kadaluwarsa makanan pun ada penjelasannya kan.
Yaelah… tau apa saya soal cinta yang kadaluwarsa, wong sampai sekarang juga masih sibuk mencari cinta…
Yeuuuk mari!
Leave a Reply