Kenakalan Masa Kecil

Beberapa hari yang lalu, saya dan beberapa teman di twitter sahut-sahutan soal bullying. Dari diskusi itu, kemudian saya tahu bahwa saya salah seorang yang berlebihan dalam menggunakan kata bullying ini. Karena ternyata yang saya maksud dengan korban bullying yang memang kadang-kadang mengundang untuk dibully, adalah orang yang playing the victim, bukan korban bully yang sebenarnya. Dan saya memang sebenarnya merujuk pada penerimaan orang mengenai komentar jelek tentang dirinya. Komentar jelek, belum tentu bully. Lho kok gitu, bukankah komentar jelek itu mengintimidasi? Monggo disimak penjelasan mas Wiki, dijelaskan bahwa bully, penindasan; adalah tindakan yang digolongkan untuk berkuasa atas orang yang menjadi korban. OH! Ya! Jadi, betul juga, bagaimana mungkin rakyat endonesia di twitter bisa ngebully presiden?!

Well, ada manfaatnya juga ternyata ngoceh sahut-sahutan itu, saya jadi rada lurus menggunakan istilah ye…

Eniiiiweeei… saya sih nggak mau cerita soal bully, karena ya bukan porsi saya untuk menjelaskan, orang ternyata gue tergolong orang yang overused istilah bully kok. Masih dari sahut-sahutan itu, saya jadi ingat kejadian waktu saya masih SD kelas 5. Saya lupa pemicunya apa, tapi saya masih ingat bahwa salah seorang teman saya, namanya Ambarwati, sibuk mengejek saya. Kata-kata ejekannya seputar Cina, Kristen, dan nggak punya bapak. Merepet terus menerus. Saya yang gak kalah judes, membalas setiap ejekannya dengan kata-kata yang gak kurang pedas. Saya ejek dia, keriting, item, dan jelek.

Tapi rupanya, Ambar tidak gentar, dia terus merepet hingga saya hilang kesabaran. Saya jadi nggak bisa berkata-kata lagi. Yang bikin saya makin marah, karena Ambar ini nggak sendiri, dia dibantu beberapa teman yang ikut mengejek saya, saya bete bukan karena nggak ada yang bantuin ngejekin Ambar tapi karena saya kan mesti konsentrasi, mau ngeledek siapa nih?! Yang paling bikin saya marah waktu itu saat Ambar bilang, “wis Cino singkek, Kristen kafir trus anak haram karena gak punya bapak”

Dengan kecepatan kilat, saya menuju bangku si Ambar, saya tarik rambutnya yang keriting, saya jeduk-jedukin ke meja dia berkali-kali, dan untuk penutupnya, saya tampar dia beberapa kali menggunakan sepatu bata model shaolin andalan anak SD jaman saya, lalu saya bilang, “puas kamu?”

Trus saya kembali duduk, dengan nafas setengah bengek karena marah, dan Ambar tersedu-sedu di bangkunya, ditemani anak-anak kelas yang lain yang kemudian memojokkan saya. Saat itu memang nggak ada guru di kelas. Saya lupa, setelah itu saya gimana. Yang kemudian saya ingat adalah, penyesalan saya keesokan harinya. Si Ambar ini entah orang tuanya di mana, dia tinggal sama neneknya. Nenek si Ambar ini buruh gadai, jadi kalau ada orang yang mau menggadaikan barang ke kantor penggadaian bakal nyuruh si neneknya Ambar trus kasih upah seratus sampai seribu rupiah, tergantung besarnya nilai barang gadaian. Saya menyesal, karena sebenarnya hidup Ambar itu lebih menderita daripada saya *menurut saya waktu itu*, kenapa saya mesti nampar dia? Tapi memang, soal esmosi yang membara ini bawaan lahir, sejak kecil, bahkan saat saya kelas satu SD, saya bisa berantem pukul-pukulan sama kakak kelas karena diejek Cina dan Kristen. Kalau dipikir-pikir, ejekan yang melekat di saya itu ya cuma Cina & Kristen. Dodol bener dah… Balik ke Ambar, pokoknya, pas besoknya saya baru menyesal, kenapa saya terpancing untuk marah. Toh saya memang (setengah) Cina. Saya memang Kristen. Dan bapak saya memang sudah meninggal, saya nggak punya bapak. Keesokan harinya, saya sudah nggak peduli dibilang anak haram juga. Saya menyesal telah melakukan kebodohan.

Tapi ya gitu, cukup sampai situ penyesalannya. Saya kemudian lupa cerita ini selama bertahun-tahun. Trus inget, trus lupa lagi… trus inget… trus lupa lagi. Kemarin, saat ngobrol di twitter itu, saya jadi ingat lagi, dan menyesal lagi. Kok gue dari cilik panasan sih orangnya?! Tapi ya gitu lah… Nanti deh, kalau mudik, saya sempetin ketemu Ambarwati ini, saya mau tanya, sebenernya dulu itu awal mulanya kenapa sih? 😆

Nah, soal saya sama Ambar, ini siapa nge-bully siapa ya? Kayanya mah ini nggak ada urusan soal bully deh, ini soal berantem, pakai kekerasan. Trus pelaku kekerasannya siapa? Gue. Yaelah.

4 responses to “Kenakalan Masa Kecil”

  1. Hiyyyaaa, ternyata Mb jagoan juga ya waktu kecil..hahaha..
    Kalau aku di ejek seperti itu mungkin berbuat yang sama deh kayak Mb 🙂

    1. Gampang panas… dan makin diingat, ternyata saya memang sering sekali berkelahi gara-gara diejek begitu, nggak tau lagi mau menjawab apa, tangan yang ngaplok 😆
      Tapi yang terparah waktu kelas 5 itu memang… malu-maluin yak…

  2. Untung abis mbok tapuk, ambar gak nangis sambil teriak: “Puas mas tampar saya??tampar lagi mas!! TAMPAR!!”

    *ternyata syuting Noktah Merah Perkawinan*

    1. DODOL! 😆
      gue baru ngeh, namanya sama ya book…haahahhaha… serius namanya Ambarwati temen gue ini. Entah di mana dia, kayanya masih di kampung halaman sih…ntar klo mudik gue cari ah ke rumahnya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: