Buku ini merupakan buku kedua dari Seri Bilangan Fu. Sebelumnya ada buku Manjali dan Cakrabirawa.
Meskipun merupakan satu bagian dari seri Bilangan Fu, kedua buku ini bisa dibaca terpisah, demikian juga dengan buku-buku selanjutnya. Kok saya tahu?! Lha tahu dong, kan saya follow twitter Ayu Utami dan berulang kali, dia mengatakan hal itu saat menjawab mention para followernya.
Cerita ini menjadikan Jati, Yuda, dan Marja sebagai tokoh utama, sesuai dengan novel Bilangan Fu.
Masih soal Jati yang memendam rasa pada Marja, begitu juga sebaliknya. Yuda mengetahui hal itu tapi juga merelakan, sahabat dan kekasihnya saling jatuh cinta. Cemburu. Tapi ia juga sayang keduanya, jadi ya sudah… itu hubungan yang tidak terkatakan. Itu hubungan yang tidak bisa dibahas. Termasuk Jati tidak boleh menanyakan pada Marja apakah ia mencintai Yuda atau tidak.
Cerita yang menjadi latar belakang roman tiga anak manusia kali ini *tsaaah* adalah kisah mengenai Borobudur. Perjalanan kakek Lalita dalam menemukan pencerahan, dengan mencari jawaban atas rahasia mandala.
Dibagi menjadi tiga bagian. Indigo, Hitam, dan Merah. Kenapa ketiga warna ini? Sepanjang cerita yang juga memberi informasi mengenai fotografi ada banyak penjelasan mengenai warna, cahaya… Di akhir cerita juga ada pemaparan mengenai spektrum warna dan sebaiknya, masing-masing pembaca menafsirkan sendiri mengenai bagian-bagian ini.
Bagian Hitam, selalu mengingatkan saya pada Remy Silado. Ada banyak tokoh dalam novelnya yang bersinggungan dengan tokoh dunia, pun di novel ini. Bagaimana si kakek juga bersinggungan dengan tokoh-tokoh dunia. Ya seru aja sih… meskipun tetap gaya bahasa Ayu Utami, tapi seolah-olah saya juga membaca salah satu novel Remy Silado. Rasa itu jadi lebih kental karena settingnya di Eropa. Tapi sudahlah, itu bukan hal penting. Bagian ini juga yang paling menarik bagi saya. Bagaimana si kakek yang terpengaruh sekali dengan mimpinya saat usia muda. Hmm… saya punya mimpi semacam itu dan berulang-ulang. Saya yang setiap hari bermimpi. Saya jadi tertarik untuk mempelajari lagi soal mimpi ini. Baiklah, boleh dikatakan, bagian Hitam adalah favorit saya sejauh ini.
Saya lebih menikmati membaca Lalita daripada buku sebelumnya. Ini hanya soal selera. Borobudur lebih terang dan menyenangkan buat saya dibanding cerita mengenai Candi Ratu Calon Arang yang gelap dan seram. Selain itu, saya juga lebih suka sampul buku Lalita Ih, penting ya?! Hahahaha… buat saya sih penting. Bayangkan, di toko buku ada ribuan buku yang berjejer. Hal pertama yang saya lihat, pasti sampulnya, setelah itu baru membaca sinopsisnya. Saya telat membaca Saman karena saya nggak suka sampulnya. Setelah berbulan-bulan buku itu selalu ada di deretan best seller, baru saya buka halamannya dan langsung menyesal, kenapa kok baru saya sentuh. Saat itu, saya belum pernah membaca artikel atau cerita yang ditulis Ayu Utami. Ini ngapain sih, gue jadi bahas soal sampul buku?! 😆
Jadi gitu deh… Yang mau beli, silahkan beli di meri.
Leave a Reply