Di usia saya yang masih muda kinyis-kinyis ini, eh ya boleh dong ya saya mengaku masih muda, toh memang masih bujangan dan belum punya cucu segudang *lagu kaleee* orang-orang di sekitar saya sudah sibuk untuk menyuruh saya kawin. Mulai dari cara halus sampai cara kasar 😆 disindir-sindir sudah nggak mempan, eh bude saya terang-terangan langsung bilang ke saya gini, “nduk, cepetan kamu kawin…sekarang itu janda lebih laku daripada gadis, jadi mending kawin dulu deh…kalau nggak cocok bisa dipikirin lagi nanti, yang penting buruan kamu kawin, kamu sudah tiga puluh kan?!” Tentu saja, saat mendengar itu saya langsung sewot dan melotot tak percaya, a la sinetron gitu deh… zoom in -zoom out kanan – kiri – atas – bawah *lebay*. Tetapi lama-lama; ya sekarang sih… saya malah ketawa geli pada keinginan keluarga saya agar cepat-cepat mengawinkan saya.
Keluarga besar saya, terutama bude saya, sangat ingin saya segera menikah. Mampu menikah secepat mungkin. Urusan pernikahan itu bisa bertahan atau tidak, tidak terlalu penting. Prestasinya adalah yang penting kawin.
Bagaimana ibu saya? Ah, si mamah sih udah pasrah. Kehabisan akal bagaimana membujuk saya. Ini bukan kebanggaan juga sih, kadang saya merasa bersalah juga sama ibu saya… buwuhan dia kan banyak ya, belum ada yang balik
Lalu, apa masalahnya sih, kenapa nggak mau kawin? Kita kembali pada jawaban standar: bukan tak mau tapi siapa yang mau?
Ketika banyak kawan saya sudah melahirkan anak ke-2 atau bahkan anak ke-3 dan ke-4, saya masih juga lajang dan tidak terlalu panik juga untuk menikah. Entahlah, kadang saya sendiri panik kenapa saya nggak panik. Lha, mbulet kan? Ya ternyata memang belum panggilan alam ya. Sepertinya saya harus galau dan merintih-rintih sepi agar saya segera kawin.
Karena, ternyata banyak juga kawan saya yang galau sangat…eh nggak lama kemudian beneran loh kawin. Mungkin rintihan sepi itu adalah peluit untuk memanggil pasangan. Ya kaleeee…
Tetapi balik lagi, apakah si lajang terakhir ini *tsaaah* siap kawin? Bolak-balik juga saya tanyakan pada diri saya, jika seandainya besok jodoh saya datang, apakah saya siap berbagi hidup dengannya? Saya tak bisa membayangkan. Saya senang jika ada yang peduli dengan saya saat ini, menemani saya…tetapi kemudian berbagi hidup? Menerima dia apa adanya? Ah, menerima diri saya sendiri aja masih sulit *lho* Lalu kemudian saya mendapat pencerahan *penting* ya kalau jodoh datang pasti saya siap. Jadi ya sudah tunggu saja si jodoh yang datang mengendarai kereta cinta… #eaaa
Nah, ujung-ujungnya balik lagi kan… nggak ada kepanikan dan nggak sibuk juga mencari si jodoh yang belum datang itu.
Embuhlah, ujung-ujungnya malah saya galau karena tak kunjung menginginkan pernikahan.
Yang bener? Nggak pernah mau menikah? Eh ya pernah lah, cong! Waktu saya ABG, saya malah ingin menikah usia 23 tahun 😆 pas usia 23 tahun?! Saya sedang sibuk berpura-pura jadi cewek usia 17 tahun tapi disangka 28 tahun. Lalu ketika saya berusia 28 tahun? Lupa, saya sibuk ngapain aja… paling sibuk ngeceng tanpa peduli jadian atau nggak… ya cuma bersenang-senang saja. Saya pernah serius menginginkan pernikahan 2 atau 3 tahun yang lalu, tapi pada saat itu pun saya lebih takut untuk menikah daripada melajang.
Sekarang ketika menulis ini, apakah sedikit pun tidak ada keinginan untuk menikah? Hmmm… mungkin ada tapi saya juga tidak yakin sih.
Lha trus, kenapa posting gak penting macam begini? Lhaaaaa… macem saya pernah posting yang penting aja.
Inti permasalahan menjadi lajang adalah, terlalu menikmati kelajangan *halah*
PS. Kalau jodoh saya mas Ken, ya saya bakal langsung ngajak kawin laah…. ya kaleeee dia jodoh gue… 😆
Leave a Reply