Pagi menjelang,meskipun berharap namun aku juga tak ingin berharap. Aku sudah menunggu Sang Pengembara Mimpi mampir sejak dua musim yang lalu. Pohon Cinta telah meranggas, menanggalkan daunnya yang bersemi dua musim yang lalu. Udara dipenuhi harum aroma asmara yang tertiup angin yang gelisah. Daun-daun yang pernah bergemerisik rndu dengan riuh telah melayang gugur. Mati untuk memberi kehidupan pada tanah.
Ada harapan pada kematian.
Dan saat memahaminya, tiba-tiba saja Sang Pengembara Mimpi menyapaku, “kamu pasti merindukanku, tak sabar menagih janjiku untuk bercerita soal pohon-pohon”
Aku terlonjak senang, tapi tentu saja tak kutunjukkan, “untuk apa aku merindukanmu? Aku sudah menunggumu terlalu lama, hingga hilang rasa rinduku”
“Dua musim, dan kamu menghitungnya. Satu per satu kelopak daun yang gugur pun kau hitung, melengkapi hitungan harimu”
Aku menyembunyikan malu; tentu saja ia tahu, ia Sang Pengembara Mimpi yang menjelajahi dunia penuh kabut tepat sesaat sebelum pagi.
“Aku tahu kamu menungguku, untuk bercerita mengenai pohon-pohon, namun sayangnya, aku tak bisa menceritakannya sekarang”
“Lalu untuk apa kamu datang menemuiku”
“Aku mampir untuk bercerita sebelum masa pohon-pohon”
“Adakah masa itu?”
“Ribuan tahun yang lalu, saat Sang Waktu berputar tanpa henti mengelilingi bumi yang kacau balau”
“Aku belum lahir, orang tuaku juga belum lahir… Apakah masa saat Adam dan Hawa pertama kali terbuang karena dosa?”
“Hitungan dimulai sejak sebelum masa itu. Tahukah kamu bahwa pohon-pohon bahkan lebih tua daripada Adam dan Hawa?”
Ribuan tahun yang lalu, saat semua mahluk hidup hanya ada dalam kegelapan, belum ada pohon yang menjadi pegangan. Belum ada Pohon Cinta yang memberi harapan, Pohon Rindu yang memberi kasih juga pasrah, Pohon Uang yang menjadikan segalanya tumbuh lebih cepat. Kunang – kunang belum bersinar cerah, mereka bersembunyi di balik kabut.
Apa yang terjadi, tanyaku, bagaimana kamu bisa tahu?
Aku berada di sana, bersama Sang Waktu. Mengurai cinta yang berbelit. Cinta yang mengikatmu dengan kekasihmu.
Aku terlonjak, “kami sudah saling mencintai sejak masa itu?” Sulit kupercaya, “bagaimana mungkin? Kami belum bertemu! Kami bahkan belum lahir!”
Sang Pengembara Mimpi tersenyum, “kalian tak perlu bertemu untuk saling jatuh cinta, cinta itu telah mengikat kalian dan membuat kalian menemukan satu dengan yang lain”
Aku masih tak mengerti.
“Untuk melilitkan cinta, Sang Waktu meniupkan sabdaNya dan pertama-tama menumbuhkan Pohon Cinta yang penuh harapan, supaya cinta yang telah mengikat para kekasih tak berbelit satu dengan yang lainnya, supaya kalian para kekasih akan bertemu pada saatnya. Cinta para kekasih yang membara membuat Pohon Cinta terluka, kalian para kekasih, memang tak pernah sabar, terlalu kuat mencengkeram.” Sang Pengembara Mimpi tertawa kecil, lalu katanya lagi, “tapi dari situlah Pohon Cinta mengeluarkan harapannya… Pohon Cinta tahu betapa para kekasih yang terikat cinta akan tersiksa saat belum saling menemukan”
Ah.
“Ya, kini kamu tahu, betapa berharganya Pohon Cinta, harapan yang diberikannya pada kalian… Itu sebabnya kalian perlu Pohon Cinta untuk hidup”
“Supaya kami saling menemukan, cinta yang mengikat”
“Ya, cinta yang telah mengikat sejak ribuan tahun yang lalu”
“Apakah akan tetap mengikat kami hingga ribuan tahun mendatang”
“Aku tak bisa mengatakannya, tetapi Pohon Cinta akan selalu ada”
Aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku, “jadi ketika kami bertemu, aku dan kekasihku, kami akan terikat selamanya karena kami telah terikat sejak sebelum masa pohon-pohon! Aku tak akan kehilangan dia lagi”
Pengembara Mimpi memandangku dengan senyum, “aku harus pergi.”
“Tapi ceritamu soal pohon-pohon belum selesai”
“Aku akan datang lagi”
“Kapan”
“Ketika saatnya nanti, cantik”
“Kapan itu?”
“Ia tersenyum, “bertahanlah pada harapan.”
(Pohon-Pohon)
Akibat terlalu banyak ngedengerin lagu A Thousand Years – Christina Perri 😆
Leave a Reply