Ini adalah novel pertama dari Anthony Capella. Saya sudah memiliki buku ini mungkin sejak tahun 2008an deh… udah lama banget, tapi baru nulis review sekarang
ya maap… saya memang angot deh… saudara sepupu angkot *lo kate kopajaaaa?!*
Cerita novel ini, seputar kisah cinta segitiga seorang pemuda Italia yang berprofesi sebagai chef, yang bernama Bruno, seorang mahasiswi Amerika, yang bernama Laura dan seorang playboy kacang garing cap kelenci, Tommaso. Ya gak penting banget deh, cuma cerita chicklit gitu sih. Biasalaaah…chicklit… Tapi novel ini jadi luar biasa, karena Anthony mengemasnya dengan bumbu-bumbu masakan Italia yang penjabarannya mengundang air liur, dan membuat pembaca membayangkan makanan yang sedang diceritakan itu.
Saya, adalah salah satu penganut paham: kenali orang dari cara dia makan dan apa yang dia makan. Ya memang nggak 100% valid, tapi saya tetap suka mengamati orang makan dan menebak-nebak, bagaimana orang ini dari cara dan apa makanannya; sehingga membaca novel ini betul-betul memanjakan imajinasi saya.
Bruno, seorang chef yang sangat kreatif dan mencintai makanan. Ia memasak dengan sepenuh hati terutama untuk Laura. Meskipun ia hanya bisa memasak diam-diam untuknya dan Tomamso yang mendapatkan hasilnya, Bruno rela. Simak saja kutipan ini:
Menunya untuk acara itu sebagian besar sesuai dengan nasihat si orang tua. Antipasto-nya adalah fritto misto Roma klasik – cincangan jeroan campur, termasuk potongan rebusan otak dan hati, dengan siput, artichoke, apel, pir, dan roti dicelup susu, semua digoreng gariing berlapis adonan telur dan remah roti. Itu akan disusul dengan primo berupa rigatoni alla pajata – pasta disajikan dengan usus anak sapi yang masih begitu muda sehingga masih berisi susu induknya, dimasak dengan bawang, white wine, tomat, cengkeh, dan bawang putih. Untuk secondo-nya, mereka akan makan milza in umido – limpa domba, dimasak dengan sage, anchovy, dan paprika. Lalu puntarella al’ acciuga – salad pahit dari tunas chicory dan anchovy – yang akan menetralkan saraf pengecap, disusul dolce sederhana berupa fragile in aceto, stroberi gorilla dalam cuka. Untuk menutup seluruh hidangan dengan penuh gaya, ia berhasil memperoleh sedikit kopi luwak, biji kopi langka dari Indonesia.
Bikin ngiler gak sih…
Anthony Capella juga fasih menjelaskan suasana hati sesuai dengan konteks Bruno sebagai chef: Di hatinya, perasaan bahagia dan sedih campur aduk jadi satu, bagaikan putih dan kuning telur yang dikocok untuk membuat omelet. Hahahaha… maksa sih, tapi ya sesuai.
Buku ini juga lah yang membuat saya jadi penasaran dengan masakan Italia pada saat itu… saya jadi tahu, bahwa ternyata di Italia, seseorang menentukan masakan bukan dari apa yang ingin dimasak, namun bahan masakan apa yang bagus dan tersedia saat itu. Kemudian penjelasan soal kebiasaan makan mereka yang heboh, lha iya… ada salad – soup – antipasto – primo – secondo – dolce – lalu kopi. Makan besar. Eat well, live well… ceuna teh.
Dari buku ini pula, saya kemudian mulai mencari referensi soal makanan Italia, betul tidak yang diceritakan dalam novel ini, jadi mencari-cari resep yang diceritakan dalam novel. Hahaha… saya emang agak norak sih…
Oh, yang saya ceritakan ini adalah novel kisah cinta, bukan buku panduan makan
Lalu bagaimana akhir kisah cinta Bruno dan Laura? Baca saja buku ini, dijamin kalian pasti akan jatuh cinta pada Anthony Capella, sebab Food of Love, betul-betul bercerita soal makanan cinta. Makanan yang membikin jatuh cinta, makanan yang dibikin dengan cinta, dan cinta kepada makanan.
PS. Berhubung saya kurang sreg dengan sampul buku ini, lebih baik saya pasang gambar masakan-masakan Italia yang mengundang selera yaaa….
Leave a Reply