Saksi Mata

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menjadi saksi mata kelahiran seorang bayi ke dunia yang fana ini. Beneran saya berdiri di samping si ibu dan melihat dengan takjub, seorang bayi perempuan mbrojol kelepek-kelepek dan beberapa detik kemudian menangis dengan keras, tanda ia hidup dan kuat dan sehat.

Waktu itu, saya sedang mengunjungi seorang kawan yang menjadi dokter di kapal penumpang kelas ekonomi. Saat kapal tak lama lepas sauh dari pelabuhan Tanjung Balai, akan menuju Tanjung Priok, Jakarta, jam sembilan pagi, sang dokter mendapat panggilan untuk segera ke klinik. Ketika kawan saya kembali ke kabin, ia menjelaskan, “ada yang mau melahirkan, hidup ini… tadi nurunin jenazah di Tanjung Balai, sekarang naik yang akan melahirkan”

Saya yang masih menikmati sarapan pagi jadi ikut termangu, betul juga… tadi kawan saya ini sibuk mengurus penurunan jenazah salah satu penumpang yang meninggal subuh tadi pagi karena serangan jantung, tak lama… ada penumpang yang hendak melahirkan. Hidup dan mati, silih berganti. Entah bagaimana, saya dengan polosnya bertanya, “gue boleh ikut ke ruang persalinan?”

Kawan saya si dokter tertawa, “yakin kamu berani?” kemudian dia juga mempertimbangkan etika dan sebagainya, dia menyarankan saya menjenguk ibu itu dulu dan meminta ijin dia, apakah mau saya temani di ruang bersalin atau tidak.

Singkat cerita, saya kemudian diijinkan untuk nanti menemani si ibu dalam proses persalinan. Saya bersemangat sekali, saya tidak punya pemikiran apakah persalinan itu akan memakan waktu lama atau mengerikan atau… ya gitulah… pokonya yang sakit-sakit gitu… Kawan saya lalu bilang, “kamu habiskan sarapan dulu, nanti pukul  9.30 baru kamu ke klinik lagi, perkiraan lahir pukul 9.45 – 10.00 kok, sana makan dulu”

Menuruti kawan saya, maka baru pukul 9.30 saya kembali ke klinik. Kalau dipikir-pikir, dokter ini hebat juga, dia memperkirakan waktu kelahiran dengan tepat, padahal dia ini baru lulus dokter dan sedang PTT di kapal pemerintah ini. Katanya, “ibu ini sehat, juga, semua baik. Bukaan jalan lahir sesuai perkiraan, jadi semestinya proses melahirkannya juga akan sesuai teori, aman”

Pukul 9.35, dokter mulai mendekati si ibu dari sisi kanan, dan menyuruh ibu untuk bernafas dengan tenang, “jangan ngeden dulu bu, nanti capai, sabar ya… sebentar lagi, sakit dan mulesnya selesai…” sementara itu, sang mantri bersiap di ujung ranjang, menyiapkan diri untuk menerima bayi yang akan lahir. Saudara si ibu, menggenggam tangannya dari sisi kiri. Saya, berdiri di sisi kanan dekat dengan lutut si ibu. Mantri menawari saya untuk berdiri di dekat dia, saya menolak, karena saya takut mengganggu kerjanya dalam menerima bayi nanti.

Pukul 9.40. Dokter mulai menginstruksikan si ibu untuk mulai mendorong bayi. Dengan sabar dan instruksi yang tidak panik, kawan saya ini memandu si ibu untuk mengejan, sementara sang mantri juga ikut memberi semangat. Saya? Bengong.

Pukul 9.45 tepat. Bayi lahir. Didahului kecipak air seperti bunyi seember air yang ditumpahkan, kemudian tak lama ada mahluk hidup yang kelepek-kelepek seperti ikan yang menggelepar-gelepar di air yang dangkal. Maaf, bukan saya bermaksud untuk merendahkan arti kelahiran, bukan, tapi ternyata, proses kelahiran itu jauuuuh berbeda dari apa yang pernah saya bayangkan. Bayi itu benar-benar kecil, namun ketika telah terkena udara, ia membesar dengan ajaib. Dia tidak langsung menangis, mantri dengan sigap mengambilnya, membersihkan hidung, mulut dan menekan jantungnya dengan lembut, beberapa detik kemudian, bayi mulai bersuara dan menangis dengan susah payah.

Sementara itu, si ibu masih harus berjuang untuk mengeluarkan bali; bali ini tempat bayi semasa di rahim, apa ya istilah yang benar… Dokter berkata ke ibu ini, ” ibu bayinya perempuan dan sehat, sekarang ngeden lagi yuk, keluarin balinya, sabar ya bu… sebentar lagi selesai” lalu ia memberi induksi, tak sampai satu menit kemudian, bali keluar dan diperiksa oleh dokter, bentuk bali harus utuh seperti setengah lingkaran bola, jika ada tercabik sedikit saja, maka dokter harus membersihkan rahim untuk mencari cabikannya; kalau tidak, itu berpotensi untuk menjadi penyakit.

Ketika bali telah keluar dan diperiksa, mantri juga telah selesai membersihkan bayi yang menangis, membungkusnya dengan selimut lalu memberikannya pada ibu yang kelelahan namun bersinar-sinar karena bahagia.

Saya? Masih bengong. Melongo dengan takjub dan merekam semua itu, hingga hari ini tiga belas tahun setelahnya, saya masih ingat detail kejadian dengan sangat jelas.

Ruangan klinik kapal ekonomi milik pemerintah. Hanya ada ranjang periksa seperti di klinik sekolah dengan baskom di kanan kirinya, meja & kursi untuk dokter, wastafel, satu tabung oksigen, jendela kecil di sudut ruangan. Si ibu yang kelelahan namun bahagia dengan bayi di pelukannya, saudaranya yang tak beranjak sedikit pun dan setia memegang tangan kiri si ibu. Dokter dan mantri yang bekerja dengan cepat dan resik.

Saya terpesona. Saya telah menyaksikan kehidupan yang hadir di dunia ini.

Pukul 11.00 semuanya telah selesai, termasuk surat keterangan lahir untuk si bayi dari kapten kapal. Sang ibu meminta dokter yang memberi nama anaknya, karena kawan saya kebingungan nama apa yang akan diberikan, maka saya memberi usulan, sebuah nama, Yasmin. Saya sedang menyukai nama Yasmin, Jasmine. Bayi Yasmin, memiliki keterangan lahir yang unik, di perairan Selat Sumatera, pada titik koordinat bujur selatan… lintang… tanggal 8 Oktober 1999 pukul 9.45 pagi, telah lahir seorang bayi perempuan bernama Yasmin….

Saya baru tahu setelah saya menceritakan kepada beberapa teman mengenai hal ini, konon, yang belum menikah dilarang untuk melihat orang melahirkan, karena takutnya trauma kalau proses persalinannya bermasalah. Saya sungguh beruntung, kelahiran Yasmin sangat lancar, tidak menjadikan saya trauma.

Saya masih tersenyum dan takjub setiap mengingat peristiwa itu. Tanggal 30 Oktober, kemudian saya memiliki tattoo saya yang pertama, antara sengaja dan tidak. Hidup dan mati, silih berganti.

Selamat menikmati akhir pekan, mari kita rayakan hidup.

2 responses to “Saksi Mata”

  1. di perairan Selat Sumatera, pada titik koordinat bujur selatan… lintang…

    >> Lah trus kalo ditulis di akte atau KTP, kota kelahirane akhire nang ndi yo? 😀

    1. Mungkin Kepulauan Riau? Atau Tanjung Balai? Paling cuma 2 jam jauhnya dari Tanjung Balai, masih masuk kabupaten situ kali ya… *dipikirin* 😆

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: