Anindya
Kekasih hati sedang tersesat menunggu fajar memberi petunjuk arah pulang di batas langit.
Berharap kunang-kunang berbagi sedikit cahaya untuk memandunya
Pengembara Mimpi, bisakah kau menjemputnya?
Sebab, tak ada seekor pun kunang-kunang di atas tebing sana.
Bawa ia pulang, untukku.
Kubayangkan gelap dan dingin di sekitar Wisnu sekarang. Apakah ia terluka? Kesakitan? Lapar? Aku yakin, meski dia sedang sakit, lapar, kedinginan, dan kesepian; ia pasti lebih mengkhawatirkan aku saat ini lebih dari aku mengkhawatirkannya.
Aku memang mengkhawatirkan memang, semua bisik-bisik keluarga di belakangku, berkata-kata manis dan menghibur tapi jangan kira aku tak tahu kalau mereka selalu bilang, “kasihan, baru nikah dua bulan…sekarang ada musibah ini” atau, “dia masih belum bisa terima kalau Wisnu meninggal?”
Aku tahu, sudah tak mungkin mengharap Wisnu pulang setelah kecelakaan itu, apalagi hari ini sudah seminggu berlalu, kalau pun Wisnu termasuk salah satu yang bertahan hidup, mungkin ia sudah mati kelaparan. Wisnu tidak pernah tahan lapar.
Aku tahu, Wisnu tidak akan pulang.
Namun seminggu yang lalu, ketika Wisnu berangkat kerja, aku tak tahu ia tak akan pulang. Setelah pamit, ia hanya bilang, “jangan makan malam dulu ya nanti, tunggu aku pulang, nanti kita akan pergi ke warung bakmi yang kamu ingin coba itu”
“Kamu yang ingin mencobanya, bukan aku!” kataku menyanggahnya.
“Iya, tapi itu karena kamu bilang: menilik dari gerobaknya, bakmi di situ sepertinya enak, jadi kamu yang kepengen”
Aku tertawa, “itu berarti bukan aku, kamu yang ingin”
“Kamu tahu, apa yang selalu aku inginkan?”
“Ini urusannya masih bakmi kan, sayang?”
Ia tertawa, “aku yang traktir nanti” lalu ia menciumku, “aku berangkat ya, jangan lupa, aku yang traktir”
Demi sepiring bakmi yang ia janjikan minggu lalu, aku tetap berharap Wisnu pulang.
Aku sudah dianggap gila karena mengharap Wisnu pulang, demi sepiring bakmi, karena aku menangkap sinar kasihan di mata semua sanak kerabat yang silih berganti datang menengokku setelah mendengar kabar bahwa Wisnu merupakan salah satu penumpang pesawat yang menabrak gunung minggu lalu. Setiap kali mereka bertanya, selalu aku bilang, “Wisnu akan pulang, dia sudah janji akan mentraktirku bakmi”
Ini urusan hidup dan mati, aku malah mengoceh soal bakmi, makanya aku dianggap gila. Tapi Wisnu tak akan menganggap aku gila karena berharap ia pulang demi sepiring bakmi. Ia bilang, dia akan pulang dan kami akan makan malam bersama.
Dan bosan dianggap gila, aku memutuskan untuk masuk ke kamar dan tidur. Toh saat ini semua perhatian sedang dicurahkan padaku. Mereka berbondong-bondong untuk menghiburku dan aku dibebaskan dari semua kegiatan apa pun. Ibu tergopoh-gopoh datang dari Surabaya dengan serombongan dayang-dayangnya, aku bebas tugas rumah tangga. Semua baju kotor sudah dicucikan. Rumah disapu bersih. Makanan selalu tersedia di atas meja.
Tapi tidur pun dianggap stress, bisik-bisik keluarga yang menunggu di rumah menjadi, “kasian Nindya, dia stress… biar saja dia tidur”
Aku menunggu Wisnu pulang, dianggap tak bisa menerima kenyataan. Aku duduk dan bercakap-cakap dianggap gila karena mengoceh soal bakmi. Aku tidur dianggap stress.
Ah.
Aku rindu Wisnu. Kubayangkan dia akan tertawa ketika aku mengomel panjang lebar soal dianggap gila, stress, dan tak bisa menerima kenyataan, bagaimana orang-orang ini salah mengerti. Ia akan menghiburku seperti biasa yang ia lakukan, “kamu itu istimewa, jalan pikiranmu selalu berbeda dari orang-orang itu… tak apa, kamu maklumi saja salah pengertian mereka itu.” Kubayangkan senyumnya saat mengatakan itu.
…bersambung
Leave a Reply