Tadi siang saya bertemu kawan yang sudah lama sekali tak berjumpa. Jelas, pertemuan ini dipenuhi dengan ngobrol ngalor-ngidul, salah satunya soal menyeimbangkan hidup. Agak klise dan berat memang, lhah ya nggak juga. Sebenernya gampang kalau mau menyeimbangkan hidup, beli aja timbangan, biar imbang. Oh, itu kalau mesti nurunin berat badan ya… ok.
Awalnya, kami membicarakan manusia yang sebenarnya adalah mahluk paling berbahaya di muka bumi ini, binatang paling buas dan tidak berperikebinatangan. Binatang lain, membunuh hanya untuk makan saat itu, mereka tidak akan menyimpan mangsanya untuk stok makanan. Kebayang, singa menyimpan kijang di sarangnya dan mengambil satu demi satu tiap hari jika ingin makan. Buaya, menyimpan makanannya, tapi bukan untuk stok, mereka memeramnya, itu bagian dari proses memasak. Emh…menyimpan stok makanan untuk musim dingin? Ah ya… tapi ya secukupnya, mereka menghabiskan stoknya saat musim dingin, tidak ada sisa, mereka tidak akan mengambil terlalu banyak
Tidak, hanya manusia yang benar-benar serius untuk menyimpan stok makanannya. Hanya manusia yang berburu makanan melebih kapasitas perutnya. Sama halnya dengan uang, seberapa pun uang yang didapat, tak akan pernah cukup. Ya emang jauh sih, tapi itu menunjukkan naluri manusia yang tidak akan pernah puas.
Kawan saya mengatakan, semua keserakahan itu bisa dihindari kalau hidup kita seimbang. Keseimbangan yang membuat kita tetap tenang dan nerimo dalam menjalani apapun. Ketika sedang bahagia tidak akan terlalu terhura, dan ketika sedih tidak akan depresi, sebab kita sudah memahami bahwa sedih dan bahagia itu menyeimbangkan hidup. Yin. Yang.
Ah, ambil nafas dulu.
Saya tidak bisa membantahnya namun juga tidak bisa sepenuhnya mengiyakan pendapat itu.
Keseimbangan hidup, mastering the philosophy of ying and yang, ah mungkin hanya Sun Tzu yang bisa… eh, dia ahli perang yak…
Intinya, menyeimbangkan hidup… mungkin akan perlu waktu sepanjang umur kita.
Saya tidak ingin jadi orang yang pesimis, tapi… yah… naluri menungsa, pesimis, khawatir, sama halnya seperti serakah. Mungkin buat saya, lebih masuk akal jika kita menerima naluri itu sebaik-baiknya, menerima bahwa… ya, menungsa memang sewajarnya serakah tapi kita juga dilengkapi akal budi untuk mengontrol semua keinginan kita.
Ih, kok jadi sok bijak sih tengah malem begini?
Ya gitu deh… pokoknya, kalo mau gampang biar seimbang hidup kita, mari kita beli timbangan. Yeuk.
Leave a Reply