Disclaimer: ini postingan panjaaaaaang banget, bosen ditanggung pembaca yak 😀
Saya sedang membaca ulang trilogi Rara Mendut karangan Y.B. Mangunwijaya. Sejak pertama membacanya, saya malah tertarik dengan Sultan Amangkurat I, saya terbawa cerita yang disusun dengan begitu menakjubkanya oleh Romo Mangun, luar biasa. Sultan Amangkurat I, menurut catatan sejarah adalah pemimpin yang keji dan menjalin kerjasama dengan VOC yang mati-matian ditentang oleh ayahandanya sang Sultan Agung. Hal yang sama digambarkan dalam novel ini, tidak hanya itu, sang Sultan Amangkurat I juga deiceritakan keji secara seksual bahkan cenderung aneh, menyetubuhi mayat Ratu Malang yang sudah mati selama tiga hari. Euuuwww… saking cintanya? Atau…
Ah, saya tidak hendak membahas mengenai catatan sejarah vs novel; namun penggambaran mengenai Sultan Amangkurat I malah membuat saya berpikir mengenai cinta yang egois.
Ijinkanlah saya mengutip beberapa kata-kata dari novel Rara Mendut ini:
“O, Wulan wengiku, Yayi Daru, kakangmasmu lalu harus ke mana?
…
Tetapi Peparing lebih beriba hati daripada marah. Ada satu pertanyaan yang tak mungkin dijawab oleh segala arifin di muka bumi ini: Dari mana datangnya kekejian yang sering begitu jahat meracuni diri seseorang seperti bekas raden Mas Jibus ini? Pada hakikatnya, dari tadi yang ditangisi bukan istrinya yang menderita sakit sekali karena diracun sampai kejang-kejang mulut membuih, tetapi dirinya sendiri, aku aku aku. Lalu akan bagaimana nikmatku, ke mana nafsuku tersalur, kepada siapa aku nencari hiburan, aku aku aku. Di antara senua mahluk dunia, hanya manusia yang sampai pada taraf kesadaran Aku.
Saya teringat rayuan-rayuan yang pernah saya baca diiii….. twitter. NAH. Rayuan antara suami ke istri dan sebaliknya, rayuan pulau kelapa, engkaulah hidupku. Here we go again
Jika saya terlalu sering mengomentari pameran kemesraan di twitter, bukan berarti saya tak menghargai ekspresi cinta pasangan-pasangan itu, bukan… Cuma memang saya tidak tahan saja untuk tidak berkomentar. Tapi saya cukup berhasil menahan diri saya agar tidak menjadi semakin sinis dengan pameran kemesraan yang telalu manis.
Habis saya bisa gimana kalau saya membaca: dear @xyzabcd my wife, you and our son are the world to me, I’ll do anything for both of you, I love you atau I’m the most luckiest woman alive in the world to have @xyzabcd as my husband, a loving man to his wife & daughter atau I’ll give the world to my @xyzabcd and our kids, they are the reason why I’m here today atau my son / daughter you are the true love, I will do anything for you, you have to know that we love you very much atau sejuta kalimat giung lainnya…. Gigi saya langsung ngilu saking manisnya.
Ok, memang normal, dan biasa aja. Ya TAPIIIIII…. Ya semua orang gitu kali… mencintai istri / suami / anaknya dengan sepenuh hati, bukan lo doang kaleee jadi ngapain sih mesti bikin pernyataan macem dia satu-satunya orang yang begitu sayangnya pada istri / suami / anaknya di dunia ini? There I say it.
Saya tidak bisa menahan mulut saya untuk tida berkomentar: gombal!
Lho, trus apa hubungannya ini dengan petilan dari novel trilogy Rara Mendut? Dan apakah kalimat-kalimat itu adalah bukan cinta?
Soal kalimat-kalimat rayuan pulau kelapa ituh, ya mungkin memang cinta, siapalah saya ini bisa memutuskan itu cinta atau bukan: saya orang paling tidak kompeten untuk memutuskan itu cinta atau bukan, saya belum bertemu cinta. Entahlah soal itu, kalian sendiri yang memutuskan.
Tapi soal hubungan dengan petilan novel, yaaah… kalimat rayuan pulau kelapa tadi sama saja dengan rengekan Sultan Amangkurat I, gombal. Berkorban seluruh harta, dunia untukmu. Gombal.
Jadi ingat, salah satu pesohor yang juga anggota DPR, yang waktu itu nangis guling-guling waktu suaminya meninggal, trus sampe pengen ikutan mati segala… nah, tanah makam lakinya belum setahun toh dia sudah bertemu cinta yang baru kan? Wajar jika suami meninggal kemudian sedih, tapi ketika kesedihan itu kemudian dijadikan komoditi… ah airmata buaya.
Lha yang ini juga sama. Cinta yang terlalu diumbar, pengorbanan yang selalu diagung-agungkan… apakah sebenarnya itu kebalikan dari yang akan terjadi? Lho kok mbingungi? Begitulah.
Jika cinta yang dinyatakan secara menggebu-gebu itu tidak mendapatkan balasan semestinya, misalnya saja istri / suami /anak tidak bersikap seperti yang diinginkan…apakah sama sekali tidak ada kekecewaan? Apakah tetap akan memetik bulan untuknya? Jika cinta bergelora yang dinyatakan ke anak, yang bahkan belum bisa baca twitter itu, tidak mendapatkan balasan sesuai dari si anak, yakin gak akan ngungkit-ngungkit: mama / papa sudah melakukan semuanya untuk kamu, kenapa kamu gak mau nurut dikit aja sih?
Saya penasaran, apakah cinta yang dipamerkan itu akan tetap sama, jika di masa mendatang si anak tidak memenuhi ambisi sang orangtua, yakin gak akan nangis tujuh hari tujuh malam? Yakin akan ikhlas menerima gak pakai menggerutu?
Hey… orangtua selalu cinta kepada anaknya, menggerutu pun sifat manusia yang sangat normal, nggak ada salahnya. Tapi ya itu tadi, entah kenapa pameran cinta yang berlebihan malah mengingatkan saya akan gerutuan yang berlebihan. Kata-kata manis semanis madu, akan menyenangkan jika dibaca di novel fiksi, berbunga-bunga dan bersayap peri. Dalam kehidupan nyata… yah, bijitulah…
Cinta yang selalu ingin memberi akan menjadi cinta yang sangat posesif, akan menjadi cinta yang selalu uug – ujung-ujungnya gue.
Ah, setahu saya cinta memang egois, untuk apa kita bertahan dengan seseorang jika kita tidak merasa bahagia bersamanya?
Kesimpulan dari rentetan kata-kata ini? Tidak ada. Cinta, bentuknya macam-macam, mungkin pameran cinta memang perlu, untuk menghibur orang-orang macam saya.
Selain panjang (lagi gak penting) posting ini rupanya sangat membosankan… maafkan saya. Sabtu tengah malam memang bukan waktu yang tepat untuk menulis posting.
Leave a Reply