soal cowboys in paradise

Dua hari yang lalu, saya ngomel-ngomel nggak karuan soal film ini di twitter. Tapi ya begitulah, ternyata 140 karakter tidak cukup menjelaskan kenapa saya marah-marah *halah*

Saya memang belum nonton filmnya, saya hanya menonton trailernya, dan langsung ‘murka’ setelah menontonnya. Film ini, konon katanya adalah film dokumenter yang mengangkat fakta soal gigolo di pantai Kuta. Ya, sebenarnya biasa aja, bukan fakta baru. Dari jaman saya SMA, perasaan sering dijadikan bercandaandeh hal itu, sama teman-teman saya yang laki-laki.

Tema filmnya sih biasa aja ya, soal pelacuran, lhah kalau mau ngomongin pelacuran, baik itu laki-laki atau perempuan, di mana saja ada… bukankah pelacuran itu memang profesi yang paling tua di dunia? Saya tidak mendukung pelacuran, jelas itu… tapi saya juga nggak bisa ngasih makan mereka, jadi mesti gimana dong? Itu problem sosial yang penanganannya tidak mudah, dan saya bukan ahlinya, jadi saya nggak ikut-ikutan deh.

Balik ke cowboys in paradise, ketika muncul rame-rame soal film itu, dan ada beberapa pihak yang ingin memboikot film itu, saya jadi ingin tahu, seperti apa sih, fakta yang difilmkan oleh si sutradara?

Melihat trailer yang pertama, saya biasa aja, hanya agak nggak suka sama seorang India tua yang berumur 50th yang bilang, “I’m fifty years old, trying to understand this but I can’t understood, these little fucks, sorry for my language, on the beach are easily to get close with the girls and the girls attached to them so easily”

Diputar berulang-ulang, bagian itu doang yang bikin saya paling sebel. Ini bapak-bapak, caranya ngomong, kayak dia orang paling suci di muka bumi. Oke, saya memang menyimpulkan itu dari apa yang saya lihat saja, bisa jadi itu acting (jelek)… mungkiiin… mungkin…

Oke… saya lihat lagi ke trailer yang lain, ada lagi India muda yang diwawancarain, nggak jelaslah itu maksudnya apa. Lewat. Trus, lihat ke yang ketiga, ada lagi si India tua tadi, yang diwawancarain, dia bilang, kurleb gini, “They are part of the economic maan… in fact they are part of the gross national product… the motorcycle…. *agak gak jelas… tapi gambar2 menunjukkan kayak motor kafe dll* the business is there, without them maybe Bali economic not run” dan si India tua ini, ngomongnya sambil ketawa menghina, trus muncrat-muncrat lagi… geli banget pak?! *tapi pengen gw tabok*

Jelas atuh saya marah.

Saya putar lagi, untuk memastikan apa yang saya dengar, dan saya makin marah. Si India tua itu siapa sih? Ahli apa dia? Bisa memutuskan bahwa ekonomi Bali tidak berjalan kalau nggak ada cowboys itu? Oh, ‘they’ yang dimaksud bukan cowboys alias gigolo? Trus siapa? *nyengir sinis*

Beneran, bikin napsu membara yang bagian itu.

Saya jadi mempermasalahkan, si sutradara ini sendiri, siapa dia? Saya jadi mengungkit-ungkit, kompetensi sutradara ini. Katanya, dia sudah melakukan penelitian, survey soal hal ini… tapi se-valid apa datanya, dan bener gak sih, dia seorang yang kompeten untuk melakukan hal ini? Ngerti nggak maksud saya? Ini persoalan yang biasa, pelacuran, yang di mana-mana ada. Tapi tetap saja ini problema sosial yang tidak bisa semua orang ikut bicara, sok jadi polisi moral, macam si India tua itu *teteup ye… kehel*

Kemudian, apa kamsud dia bikin film documenter ini, mengajukan fakta kemudian memberi solusi? Atau dia mendokumentasikan ini hanya karena dia prihatin dengan fakta yang ada? Atau dia hanya pengen numpang tenar? Pikiran jahat saya, dia hanya ingin numpang tenar.

Bukan siapa-siapa, nggak tau munculnya darimana, tiba-tiba bikin sesuatu yang sudah biasa (tapi tetep isu sensitif) dan menyertakan satu tokoh yang pikatabokeun macam si India tua itu. Ya… cari ketenaran toh…

Dia, si sutradara ini bilang dalam wawancaranya dengan The Jakarta Globe, bahwa dia sudah berjanji pada salah satu cowboys bahwa film ini tidak akan diputar di Indonesia, tapi dengan adanya penolakan di Indonesia, dia berusaha untuk bernegosiasi lagi supaya film ini bisa diputar di Indonesia. Halah, kakean ngomong – kebanyakan ngomong, nggak diputar di Indonesia tapi di-upload di Youtube.

Semua orang boleh berusaha untuk tenar, termasuk sutradara ini. Hanya saja, saya pengen marah, kalau yang dijadikan kendaraan dia tenar, adalah fakta yang tidak benar soal negara saya. Hei, bukan saya menyangkal soal gigolo itu, tapi saya menyangkal bahwa gigolo itu yang membuat ekonomi Bali berjalan.

Mengerti kamsud saya, kan?

Saya tidak suka pernyataan si India tua itu. Tahu apa dia soal ekonomi Bali, dan bagaimana orang Bali bekerja untuk menghidupkan pariwisata mereka, bagaimana pemerintah kita berusaha untuk mengangkat Bali, bagaimana investor juga berlomba-lomba untuk untuk membangun sesuatu yang bisa menarik minat orang datang ke Bali. Tidak semata-mata karena gigolo cewek-cewek bule itu datang ke Indonesia.

Oke, balik lagi, mungkin itu cuma pendapat turis tua yang bangkotan di Bali? Cih!!! Pendapat gak penting! Pokonya, saya nggak suka bagian itu. Katanya ini film documenter, ya kudu yang kompeten dong yang ngomong.

Yah… intinya, saya ngomel2 aja dan mau kasih tau, bukan filmnya atau tema filmnya yang bikin saya marah, tapi ya bagian itu… adanya bagian yang menyatakan bahwa ekonomi Bali nggak berjalan kalau nggak ada mereka.

Sudah itu saja.

ps. tambahan satu maki-maki dari blog saya, bisa jadi menambah garam pada lautan kontroversi soal film ini, biarin dah. Tapi jangan minta link ke saya ya… di Yahoo Indonesia, Youtube, Google… kayanya gampang juga nyarinya.

ps2. And you Mr. Amit, it is Bahasa Indonesia not just Bahasa. I hope The Jakarta Globe, as one of respectful newspaper, care to edit and correct people if they use wrong terms, or you also speak Bahasa instead of Bahasa Indonesia? Once again people, it is Bahasa Indonesia not Bahasa (thok).

ps3. salahin hormon.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: