Kami, mengawali semuanya dari perpisahan.
Dan tidak mudah menuliskan perpisahan, meski tak selalu luka namun selalu ada kehilangan yang membuat lubang di hati. Aku benci lubang di hati, yang selalu dialiri rasa dingin ketika mengingat yang telah pergi itu. Aku tidak suka perpisahan.
Tapi, dia beda. Dia senang menceritakan perpisahan, seolah-olah setiap kata yang terhambur dapat menutup lubang yang ditinggalkan olehnya yang dulu pernah mengisi ruang itu.
Karena itu kami bercakap-cakap.
Aku yang tidak suka perpisahan dan ia, yang suka menceritakannya.
Dan ketika kami berpisah, ia memilih caraku. Tidak ada kata-kata yang dihamburkannya untuk menutup lubang. Dalam diam, aku mengemasi barang-barangku dan pergi meninggalkannya tanpa pernah berkata, “sampai jumpa”.
Kota ini cukup besar untuk kami berdua, aku berharap, setelah berpisah, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya… harapan yang kubesar-besarkan untuk membunuh keinginan bertemu tiba-tiba dengannya di sudut kami yang tersebar di penjuru kota.
Harapan dan keinginan, bukankah mereka sama saja?
“Beda, sepertinya… harapan itu lebih mungkin terjadi dibanding keinginan, karena harapan mengandung keinginan untuk bekerja keras mewujudkannya, sementara keinginan sia-sia” ia pernah mengatakan hal itu padaku.
“Bukannya keinginan yang membuat orang berusaha mewujudkannya, sementara harapan hanyalah kata-kata bermuatan positif saja?” sanggahku.
“Mungkin. Tapi tetap menurutku, harapan lebih tinggi pangkatnya daripada keinginan”
Aku tidak berniat menyanggahnya lagi, aku bukan ahli bahasa, aku juga tidak pandai berkata-kata.
Kota ini memang cukup besar untuk kami berdua, sampai suatu ketika, aku menangkap bayangannya. Ia yang sedang menghamburkan keindahannya, ia yang sedang berpusat pada dirinya. Rasa dingin membekukan seluruh elemen tubuhku, termasuk air mata. Ia masih mempesona.
Aku benci perpisahan.
“Untuk melupakannya, kamu perlu bertemu orang lain, cobalah… pacaran sama orang lain” temanku pernah menyarankan begitu.
“Nggak ada rasa, nggak bisa… lubang ini membuatku kehilangan semua rasa”
“Ya belum dicoba… siapa tahu, witing tresno jalaran soko kulino?”
“Nggak bisa”
“Itu nggak mau, bukan nggak bisa”
Aku memang tidak mau berpisah. Sudah kukatakan, aku benci perpisahan.
Apa bagusnya, yang biasa berdua¸sepasang… jadi seorang saja. Aku merasa seperti lumpuh pada awal perpisahan kami, sekarang pun masih begitu. Oh ya, jelas, perpisahanku dengannya jenis perpisahan yang menimbulkan luka. Luka di sekeliling lubang hati. Tapi, manusia memang masokis alami, setiap jengkal luka yang mengelupas memberikan kenikmatan, kenangan. Aku lebih suka hidup di masa lalu ketika bersamanya.
“Kalau kamu tidak mau, kenapa kamu harus menyerah dan setuju berpisah?” lagi-lagi temanku yang tak sabaran, gemas padaku.
Jangan menghakimiku seperti itu, teman. Jangan.
“Sekarang, kamu hidup segan, mati juga nggak mati-mati”
Biar kunikmati dulu luka ini, sebelum rasa dingin yang mengalir membekukannya lagi.
“Sampai kapan, kegilaan kamu berhenti? Ayolah… tak cuma dia yang bisa menjadi kekasihmu”
Luka ini, rasa sakit ini… membuatku tetap waras, teman. Tanda aku masih hidup, susah mati.
“Ayolah, kejar lagi kebahagiaanmu”
“Aku dulu pernah bahagia”
“Sekarang?”
“Mungkin masih berbahagia”
“Tiap malam merenung, tidur meracau, tak punya semangat? Hidup kamu Cuma buat dia?”
“Dia hidup untukku”
“Ah… repot kamu, kalau begitu kenapa kalian memutuskan berpisah?”
“Kami tidak pernah berdiskusi soal perpisahan ini, kami tidak pernah bercakap-cakap soal siapa yang harus mengakhiri, atau semacamnya”
“Lha?”
“Kami tahu, kami harus berpisah… aku mengemasi barangku dan aku pergi. Perpisahan tidak pernah mudah untuk dihadapi”
Dan, tidak ada yang bisa membuatku menahan erosi lubang hati ini. Teman pun punya batas kesabaran, aku tidak menyalahkan mereka karena pada akhirnya membiarkanku sendiri. Ya, inilah perpisahan. Membuat lubang besar, meninggalkan luka.
Kami, mengawali semuanya dari perpisahan. Jadi kupikir, aku masih punya harapan.
Leave a Reply