Sudah seringkali saya mendengar, orang-orang yang tidak saya kenal atau bahkan teman-teman saya sendiri, lebih memilih menggunakan kata Chinese atau China untuk menggantikan kata Cina. Pemilihan kata Chinese atau China [mungkin] dikamsudkan untuk memperhalus sebutan Cina yang karena kesalahan-kaprahan berkonotasi negatif; rasislah gitu. Meskipun saya tak sepaham dengan pemilihan kata-kata itu, tapi ya saya bisa apa, orang bebas memilih kata-katanya, seterahlah yaa…
Tapi saya benar-benar gerah ketika mendengar seorang reporter TV Nasional yang berkata, “jadi, sebagai seorang caina benteng…” ooh… siaran langsung, ditayangkan secara nasional!! Gile!! TV Nasional kok malah ngajarin yang salah… di tipi cooong… tipiiiii…. Yg boleh salah, cuma org biasa kaya’ saya… yang lain gak boleh 😛
Menurut saya sih ya… kalau dalam Bahasa Indonesia, kata Cina dilafalkan dengan bunyi cina, kenapa harus membunyikannya caina? Oh, menggunakan kata China untuk menggantikan Cina? Tapi ini siaran Bahasa Indonesia, bung! Takut terdengar rasis?! Aaah… preeettt!!! Jika Cina memang harus dibaca cina (dalam Bahasa Indonesia) maka caina, malah akan membuat cina kedengaran makin rasis.
Sebagai setengah Cina, saya kenyang dengan ejekan-ejekan rasis sejak saya kecil. Identitas yang sulit untuk saya. Mengikuti ayah, saya kurang Cina, karena ibu saya seorang Jawa tulen, tapi mengikuti ibu… saya kurang njawani karena saya setengah sipit. Bergaul sedikit sulit pada saat saya kecil, saya masih ingat ketika saya SD, sekitar kelas 1 sampai kelas 3 *pendendam sulit lupa * saya sering sekali bertengkar dengan teman-teman sebaya saya gara-gara mereka meledek saya sebagai singkek. Pada saat itu, saya merasa tersinggung karena menurut saya, singkek itu cina yang masih aseli dari negeri Cina daratan yang tua, bau, goblok, mreki… pokoknya nggak banget, jadi saya marah kalau disebut singkek.
Meskipun saya lebih merasa Jawa karena dibesarkan oleh ibu yang Jawa, tetap saja, saya Cina, karena darah Cina bapak saya yang mengalir di tubuh saya, dan namanya yang ia lekatkan pada nama saya. Tidak, sama sekali saya tidak keberatan, entah Jawa, entah Cina, ketika makin dewasa saya paham, bahwa saya ini Indonesia.
Karena saya Indonesia, saya tak pernah tersinggung ketika saya disebut Cina, Cino, Jawir, atau bahkan singkek 😆 bagi saya, [keturunan] Cina itu sama seperti suku lain di Indonesia, toh saya tidak mengenal tanah air lain selain tanah air Indonesia.
Aah… kembali soal caina.
Tolonglah, kembali lafalkan Cina sesuai dengan pengucapan Bahasa Indonesia, jika itu memang konteksnya dalam Bahasa Indonesia. Tak perlulah memperhalus makna dengan menggunakan bahasa asing. Bahasa itu cuma masalah rasa (mengutip Ken), kata-kata tak bermakna. Kata-kata hanya memicu makna yang sudah tersimpan di otak. Cina adalah cina; caina untuk memperhalus cina, malah akan memicu makna ‘cina’ yang negatif, sekali lagi, ini menurut saya.
Salahkan saja hormon, yang bikin saya nyinyir sama hal-hal gak penting begini 😀
Lagipula, kalaupun mau menyebut “jadi, sebagai cina benteng…” seharusnya bukankah, “jadi, sebagai cenes benteng… “ bukannya “jadi, sebagai caina benteng…”, no?
Sutralah hai…. mari kita sebarkan cinta… Selamat Tahun Baru Imlek, gong xi… gong xi… semoga makin banyak hoki….

Leave a Reply