Saatnya bercerita gak penting hihihihi…..
Beberapa waktu yang lalu, saya baru pulang dari Bangkok untuk urusan pekerjaan part-time. Selain senang karena kepergian ini dibayarin, ini adalah pertama kalinya saya pergi ke Bangkok, tiket murah yg saya pesan baru bulan Januari 2010 sih…. 😀 Tentu saja, selayaknya pergi pertama kali ke suatu kota, saya sangat bersemangat untuk menjelajahi Bangkok seperti orang lokal, menggunakan sky train (BTS-Bangkok Sky Train) dan MRT-nya, untuk berpergian kemana-mana di Bangkok, sembari ngiri, kapan Jakarta punya angkutan umum yang asyik macam begitu. Mengingat, Bangkok dan Jakarta mempunyai problem yang sama, yaitu macet luar biasa dan pada tahun 98-an, kedua-nya terpuruk akibat krisis ekonomi Asia. Eniweeeei…. selain cukup takjub dan beradaptasi dengan cepat menggunakan BTS & MRT, saya juga dengan semangat mencoba berbagai makanan orang lokal.
Tom Yam dan berbagai macam bakso seafood yang dijual di pinggir jalan itu, tentu saja saya cobain. Selain makanan-makanan tersebut, saya juga penasaran mencicipi penganan yang agak-agak ekstrem macam belalang, jangkrik, kecoak kecil, kodok kecil, ulat dan semut, semuanya digoreng kering.
Hari pertama, saya cukup beruntung, bisa langsung menemukan penjualnya yang nangkring dengan manis di dekat stasiun BTS. Dengan semangat turis tentu saja saya langsung memesan semua penganan itu.
Sebagai bonus, saya mendapat dua biji kepiting kecil goreng 😀 heehehehe gak penting deh….
Dan… ya, saya mencicipi semua gorengan tersebut, mulai dari kepiting kecil yang gak hardcore sampai kecoak kecil. Kecoak kecil ini yang paling njijiki buat saya.
Lha sudah tau njijiki, kok masih dimakan?
Saya penasaran. Orang lokal memakannya, berarti memang bisa dimakan, meski sebnernya kalo di kampung saya itu termasuk kategori nggragas… wong coro kok dipangan…. Di kampung saya, makanan paling ekstrim adalah laron, itu pun belum pernah saya cicipi, karena si mamah tidak mengijinkan saya ngincipi… entah, apa komentar beliau, kalau tau saya makan kecoak goreng di Bangkok
Rasa penasaran, rupanya beda tipis sama nggragas.
Sebagai penganut filosofi *halah* ‘if you are what you eat’ saya agak2 merasa ‘gengsi’ makan gorengan ini… lha iya… masak saya mau disamakan sama coro? Sama ulet? Hiiiy…. Namun, di lain pihak, saya merasa, saya belum benar-benar mengunjungi kota tersebut jika belum mencicipi penganan lokal, yang ‘ajaib’ banget. Meskipun keesokan harinya, sekretaris kantor Bangkok mengatakan, seumur hidupnya sebagai orang Bangkok, dia belum pernah makan macam2 gorengan itu… *oooooh*
Malam itu, sembari mencicipi gorengan dari kamar hotel saya yang menghadap tepat ke Benjasiri Park, saya lagi-lagi terkagum-kagum pada ‘penemuan’ manusia bernama makanan. Perlu berapa lama ya, berapa banyak ‘korban’ untuk menemukan, bahwa cabe, enak jika digunakan untuk masakan ini dan itu, bahwa buah anu beracun dan tak boleh dimakan. Hmmm…..
Juga, kok ya adaaa…. orang yang nekat makan kecoak? ulat? Kalau belalang, di tetangga kampung saya, dulu pernah populer, karena daerah itu pernah diserang wabah belalang, makanya belalang dimakan karena tidak ada bahan makanan lain. Laron pun dimasak setelah malam sebelumnya hujan pertama dan banyak laron yang berhasil dijebak ke dalam wadah baskom. Mereka hanya memanfaatkan apa yang sedang berlimpah
Jadi, pada suatu masa dulu, kecoak juga pernah melimpah di Bangkok? Hiiiiyyyy…..
Ah… makin tak penting
Selain makan kecoak, saya juga makan makanan beradab lainnya kok…. gambar-gambarnya ada di blog yang ini.
Eh, rasa kecoak goreng? Emh…. di luar dugaan, rasanya gurih, ulatnya pun enak… seperti makan kacang, tapi nggak keras… sementara jangkrik, rasanya juga gurih enak… kalau semut, rasanya pedas.
Leave a Reply