Si mamah baru menelpon, kakak sepupuku baru saja meninggal dunia setelah berjuang dalam koma selama tiga hari. Dia mengalami kecelakaan cukup mengerikan kalau saya mendengar ceritanya. Dia dibonceng motor oleh suaminya dan ditabrak truk gandeng yang besar itu, kemudian terlempar ke bawah truk, terlindas roda truk yang paling belakang. Saya tidak ingin membayangkan, sudah hancur seperti apa kakak sepupuku itu. Suaminya, yang membonceng, tidak mengalami luka yang cukup berarti.
Ada yang berat menindih saya. Meskipun saya tidak terlalu dekat dan tidak setiap hari bercakap-cakap dengannya, bahkan meski hubungan darah kami sangat dekat, saya tidak pernah tau nama lengkap kakak sepupu saya ini. Bahkan saya juga tidak tau nama suaminya, baik suaminya yang pertama maupun suaminya yang sekarang. Yang terparah, saya tidak tahu nama kedua anaknya. Tapi tetap saja, seolah-olah kesedihan yang berat itu menekan saya kedalam air yang dingin dan membuat saya sesak, karena saya merasakan kesedihan mamah, bude saya dan sepupu-sepupu saya yang lain, yang dekat dengan mbak Titik, baik secara fisik maupun emosional, mereka berinteraksi dengannya setiap hari. Sementara saya, dari lingkaran pertama sepupu-sepupu, hanya saya yang tinggal di wilayah Jawa Barat dan selalu menghindari acara kumpul-kumpul keluarga karena malas menempuh perjalanan jauh ke Jawa Timur sana. Belum tentu setahun sekali saya berkumpul dengan keluarga lingkaran pertama, terakhir kali saya bertemu adalah Natal 2007. Saya tidak pernah merasa kangen atau apapun dengan saudara-saudara saya yang dekat sekali hubungan darahnya ini. Tapi tetap saja, saya diam sangat lama, merasakan kesedihan itu memberati saya dengan perlahan-lahan ketika mendengar berita kematian mbak Titik. Saya lebih sering menghabiskan waktu saya dengan teman yang sudah seperti saudara, lebih mudah merasa kangen pada teman.
Darah memang lebih kental daripada air.
Mbak Titik, adalah yang pertama meninggal dari angkatan kami. Ini kematian pertama di angkatan kami. Kematian pertama saudara sedarah yang paling dekat. Kematian yang mendadak.
Ketika ia terlempar ke belakang truk, ketika matanya sedikit terpejam dan menangkap bayangan ban truk besar yang akan melindasnya, ia hanya punya waktu sepersekian detik untuk berpikir dengan otaknya secara sadar, apa yang dia ingat?
Saya tidak berharap ia mengingat saya, karena jarang sekali saya mengingat dia.
Saya hanya ingin tahu, apakah dia mengingat kebahagiaannya? Apakah ia mengingat kepedihannya?
Saya sangat berharap ia mengingat kebahagiaannya. Saya sangat berharap, ia puas dengan hidupnya, dan menghadap Sang Pencipta dengan keikhlasan serta kebanggaan bahwa ia telah melaksanakan hidupnya dengan sebaik-baiknya.
Saya katakan kepada Ibu saya yang sangat berduka, untuk bersabar, untuk mengikhlaskan, untuk percaya bahwa Yang Maha Mengatur telah mengatur ini semua, Yang Maha Tahu mengetahui bahwa kepergian mbak Titik memang sudah waktunya, ia telah berjuang, kami juga telah berusaha, semua telah mengerjakan bagiannya masing-masing. Sepertinya mudah dan klise bagi saya untuk mengatakan itu karena saya tidak dekat, namun mungkin itulah fungsi saya di keluarga kami.
Saya telah berpikir dengan serius mengenai kematian, sejak saya berusia sebelas tahun, saya menghabiskan waktu saya untuk berpikir mengenai Tuhan, keimanan, kematian, kehidupan sebelum hidup dan kehidupan setelah hidup. Dengan ketakutan; rasa tidak nyaman, salah satu kesimpulan yang saya dapatkan pada saat itu adalah: hidup saya (manusia) akan berakhir jikalau tugas saya, fungsi saya di dunia ini sudah selesai, baik itu berakhir yang normal atau yang tidak normal seperti kecelakaan, saya tidak memasukkan bunuh diri disini. Sebagai anak kecil, saya menganggap saya telah mencapai loncatan kedewasaan yang sangat jauh ketika mencapai pada kesimpulan itu, tanpa saya tahu bahwa memang itu kesimpulan mengenai kematian 🙂 maafkan saya, saya memang narsis. Dengan kesimpulan itu, saya percaya, ketika waktu saya tiba, maka itu memang waktu saya yang terbaik, dan saya merasa bahagia bahwa saya telah melaksanakan tugas saya di dunia ini, meski secara spesifik, saya tidak tahu job-des saya. Saya tahu, ketika saya menghadap Sang Hidup, saya tersenyum lebar dan berkata, “hi, akhirnya saya bertemu Anda, saya tidak mengecewakan Anda kan? Saya punya banyak pertanyaan yang sudah lama Anda tahu saya ingin mendengar jawabannya dan terimakasih untuk hidup yang indah”
Hidup yang indah, terisi dengan tawa juga tangis, kebahagiaan juga kesedihan.
Ah, saya makin melantur.
Saya hanya ingin mengeluarkan kabut yang padat lagi berat dari sistem saya.
Mbak Titik, saya sungguh berharap mbak mengingat kebahagiaan di saat akhir dan dengan senyum lebar, menemuiNya. Selamat jalan, ringankan langkahmu, tidak usah khawatir dengan kedua anakmu, kami yang hidup akan mengurusnya, yang hidup mengurus yang hidup, yang telah berpulang berbahagialah karena tak lagi mengurus dunia.
Hidup, mari kita rayakan… karena hidup ini indah.
Image credit: allposters
Leave a Reply to Woro Pradono Cancel reply