Tiba-tiba, teringat sama buku ini, yang aku udah baca laaamaaaa banget, ada kali dua tahun…
Buku itu menceritakan tentang kehidupan Moi, yang berada di tengah-tengah sosialita Manhattan *hadooh…. New York… New York…. betapa inginnya aku mengunjungimu*. Emh… na… aku nggak akan menceritakan isi buku itu. Ini bukan review yang nggak penting… bosen ah…. Aku hanya tiba-tiba mengingat beberapa detail dari buku itu saja. Salah satunya, bikini wax. Hm… yang otaknya kotor, boleh nggak nerusin baca posting nggak penting ini, silahkan bacut sajah…
Tokoh Moi, mengatakan sangat kecanduan pada waxing. Aku agak lupa bagaimana kata-katanya, tapi si Moi bilang, dia sangat menyukai NY karena, dia mengenal bikini waxing di NY, mengapa peradaban London tidak mengenal bikini waxing? (si Moi ini berasal dari London) π maapkeun aku kalau aku agak lupa mengutip, pokona… kitulah…
Di Jakarta, aku mulai mengenal waxing, yang dibilang si Moi merupakan peradaban manusia.
Uuugh… setiap kali aku bilang waxing, semua teman langsung bilang, “aaauw… kan sakit banget”. Embeeerrr… yang namanya juga waxing, ‘penganiayaan’ terhadap bulu, pencabutan paksa… mau dimanapun letaknya, pasti sakit… mau bulu ketek, bulu alis… bulu-bulu yang lainnya. Konon, Menakjingga, Raja Blambangan yang jatuh cinta pada Ratu Kencana Wungu, mempunyai kelemahan, yaitu bulu-bulu halus yang ada di jempol kakinya, dia paling nggak tahan sakitnya kalau bulu-bulu itu dicabut.
Back to waxing.
Ada salon pencabutan bulu yang terkenal banget di antara aku dan teman-teman lenong, letaknya di Puloraya. Bisa waxing & threading… mulai dari alis, bulu-bulu alus yang tumbuh di wajah, bulu ketek, dll. Pokona kumplit banget. Seorang teman yang fanatik banget sama salon ini, pernah bilang kalau si ibu pemilik salon ini adalah tukang threading alis terbagus se-jakarta raya *tsaah*. Kalau aku bilang, murah meriah bahagia, jadi aku puas! Rela deh ngantri laaamaaa banget hanya buat ‘disiksa’. Pertama kali waxing, aku jejeritan… π sumpe, sakit boo… sempet kepikir, nggak bakal lagi-lagi deh…. tapi pas udah kelar dan puas sama hasilnya… pendapat berubah, bulan depannya…. balik lagi, rela ngantri untuk disakiti, dan berulang terus, lagi dan lagi setiap bulan. Sekarang, menurut standar Moi, aku sudah beradab
Dan, kadang sambil senyum sendiri *ember… aku kan emang suka senyum2 sendiri… sakit jiwa!* aku suka bilang, “betapa hidupku berubah, setelah mengenal waxing dan sebelum mengenal waxing, jangan-jangan… deep inside, aku seorang sado masokis” π
Hmm….
Perempuan, demen banget ya disakiti. Untuk disakiti rela ngantri *hey, it rhymes*. Daaan… untuk urusan hati juga begitu… wuaaduuh… iyaa.. tau… nggak ada orang yang mau disakiti, tapi seringkali, kejadian yang bikin sakit hati itu kita sendiri yang memulai. Nah looo….
Kamsudnya, kadang, kita sendiri yang nyari-nyari masalah… sudah tau dari awal bahwa kalau hubungan ini diteruskan, kemungkinan besar akan berdampak sakit hati di pihak perempuan, tapi teteup aja berlanjut. Hiyaaa…. hati selalu mengalahkan logika kuakui…. ku main hati… *nyanyi-nyanyi lagu Andra & The Backbone*. Apa? Berkaitan sama aku & ginko? Nggak kok, kami baik-baik aja, nggak ada perkembangan berarti dan nggak ada yang sakit-menyakiti sejauh ini. Ini cuma pemikiran sontoloyo saja.
Tapi, memang mungkin cetakannya perempuan seperti itu. Pernah suatu kali, si pak Bos, ngobrol sama aku, lupa apa topik awalnya, kami kemudian end up dengan pembicaraan soal relasi antara perempuan & laki-laki, katanya, ” Woman are like wire, looks weak but when someone trying to make them broke, they’re just bending not broken, different with man, they lok strong like steel, but when it got hit, they will broke”.
Mungkin, karena terlahir dengan cetakan yang lebih tahan terhadap sakit, gampang beradaptasi terhadap rasa sakit… maka perempuan, secara naluriah, mencari sumber kesakitannya… haiyaaah!!!!
Sutralah, kok makin ngaco…. minum kopi dulu aah…
Leave a Reply