Seperti yang sudah sering aku bilang, aku punya problem untuk mengendalikan esmosi. Aku cepat sekali meledak marah. Semalam, si Ginko ke kos, kami masak-masak nggak puguh, mendekati akhir bulan, pengeluaran untuk jajan makan di luar dipangkas :p . Dalam satu waktu aku benar-benar senang, puas ketawa, tapi kemudian di satu titik tiba-tiba aku merasa maraaah sekali, karena hal yang sangat sepele dan kemudian ‘mengusir’ Ginko pulang. Setelah dia pulang, aku kemudian masuk kamar dan menangis. Benar-benar menangis yang keluar airmata, aaarrrgh….. ketika tersedu-sedu seperti itu, aku berpikir, apa mungkin aku sakit jiwa ya? Kok di umur yang suah mendekati uzur ini, esmosi aku kok nggak kunjung stabil. Meyebalkan. Mana sekarang mataku jadi bengkak 😦 huh….
Untuk mengeluarkan ‘racun’, setelah agak reda tangisnya *tsaaah* aku menelpon Ginko, yang kebingungan tiba-tiba mendengar aku nangis, nggak biasanya. Dalam percakapan kami yang nggak penting, seperti biasa, aku tiba-tiba ingat, suatu kejadian ketika aku masih SD kelas 5. Aku pernah ‘menganiaya’ seorang teman perempuan, aku masih ingat namanya Ambarwati, dia meledek aku abis-abisan, mulai dari ras, agama, fisik sampai status yang nggak punya bapak. Ledekan dia, bikin aku marah yg semarah-marahnya sampai nggak bisa ngomong, trus langsung nyamperin bangku dia, narik rambutnya yg keriting itu, meremas kupingnya yang beranting, dan jadilah kupingnya sobek kena antingnya, belum puas aku jeduk2in kepalanya ke bangku, dan abis itu aku lepas sepatuku yang model silat merek bata itu, kebayang pedesnya ya… dan aku tampar mulut Ambar, plak… plak… plak… lupa berapa kali namparnya, yg jelas gak cuma sekali, lalu aku bilang, pelan sih karena aku juga sudah pengen nangis karena marah, “mulutnya dibersihin ya” setelah itu, aku agak lupa kejadiannya bagaimana, tapi si Mamah langsung mindahin aku sekolah di SD lain. Itu adalah salah satu pertengkaran yang aku paling ingat, aku sering sekali berantem dulu (sampe sekarang juga kaleee), nggak cuma berantem mulut tapi fisik juga, sampai tonjok-tonjokan sama anak cowok pun aku berani.
Setelah Ginko mendengar cerita barbarku itu dia cuma bisa ketawa dan bilang, “gila lo”. Mungkin aku memang gila ya… gila beneran… adoooh…. aku takut nih…. emosi nggak stabil, gampang meledak dan langsung mellow untuk alasan yang sepele, termasuk juga sering ketawa untuk hal-hal yang orang lain bilang nggak lucu tapi nggak ketawa untuk hal-hal yang dibilang lucu, tapi yg terakhir itu jarang kejadian…
Arrgh…. penting nggak sih kalau aku ke psikolog ato psikiater gitu? Huhuhu… mending ke dokter gigi aja deh… sapa tau ada yang giginya rapih….
Eh, kmaren dalam percakapan nggak penting itu, kami juga membahas soal pernikahan, haiyaaah… bukan aku dan Ginko yang mau menikah, kami cuma teman. Kami membahas, pernikahan sebagai proses lanjutan dari pacaran. Aku bilang sama Ginko, “karena pacaran akhirnya nikah, maka sebelum mutusin pacaran sama seseorang neh, gw selalu memikirkan apakah gw siap dengan resiko terburuk dari hubungan kami, yaitu nikah, kalau misalnya gw nggak yakin mau berakhir dengan kemungkinan nikah, ngapain gw mesti repot-repot pacaran sama tu orang nek? Buang-buang waktu”
G: “Nggak bisa gitu bo, gimana lo mau kenal sama orang itu kalau lo nggak mau membuka diri sama dia, trus serius pacaran sama dia?”
A: “Taelah Ginko, pokona nih kalo gw pdkt sama orang, trus gw nggak kebayang kalo gw kudu menghabiskan sisa umur gw sama orang itu, ngapain mesti maksain diri untuk mengenal dia lebih lanjut? Gw mau mengenal dia lebih lanjut kalau misalnya gw siap gw mau terikat sama dia seumur hidup gw, naaah… kalaupun akhirnya pas proses pacaran itu kita putus ya nggak masalah… pokonya, menurut gw resiko terburuk dari pacaran adalah pernikahan!”
G: “Lo emang sakit jiwa kayanya Miu”
Haiyaah… balik lagi… mungkin memang aku sakit jiwa.
Leave a Reply