Sutress bisa ditimbulkan dari kombinasi dari pekerjaan yang membosankan & melelahkan juga menyebalkan tapi sayangnya nggak bisa keluar dan nggak boleh nyerah, lalu ada ibu yang drama queen yang sibuuuk terus nyuruh anaknya nyari pacar gak penting dan himbauan itu disampaikan dengan sederetan kata-kata nyebelin, kemudian ada mantan yang di luar dugaan *padahal sudah ge er* ternyata memang mau balikan lagi tapi sama-sama nggak berani jadi berkesimpulan lebih baik begini saja, teruuuss ada lagi bad boy yang hts nggak puguh, selain itu seorang teman baik yang masih saja sedikit ‘meneror’.
Hidup yang sama sekali tidak berkualitas, tidak menghasilkan apapun yang berguna buat orang lain. Hidup yang cuma dipakai buat ngomel. Menyedihkan, ketika hidup yang seyogyanya bisa lebih bermanfaat ini, yang sebenarnya bisa dipakai untuk bersyukur bahwa, setidaknya… si cewek nggak penting ini masih bisa melampiaskan sutress dengan cara makan! Well, apalagi yang bisa menghibur cewek jomblo gak penting selain ngelenong dan makan?!
Yang jadi favorit baru adalah Mi Semarang di parkiran gedung HS di Jl. Pancoran Timur. Ada mi rebus, mi goreng, nasi goreng, mi bihun… dimasak ala Jawa, rasa manis pedes yang makin nendang dengan sedikit bau gosong arang akibat dimasak dengan tungku bukan kompor, membuat seluruh saraf perasa di otak bekerja dan reaksi kimia yang dihasilkan mampu meredakan detakan jantung yang kemudian membuat aliran darah sedikit tenang dan… otak juga bisa berpikir sedikit lebih jernih. Tapi, dasar sutress, ketika menunggu si mas membuat mi rebus pesananku, aku malah ketambahan napsu pengen ngomel, gara-garanya dia masak sambil teteleponan. Aduuuh… aku sebal! Teknologi yang bernama handphone / hp / mobile phone / telepon genggam / hengpong *sutralah…* benar-benar ‘mengikat’ semua orang, tidak peduli lagi bekerja, lagi masak mi rebus, lagi nyetir… kayanya… hidup sekarang tidak hidup tanpa si hengpong ini, uuugh… sebagai bukan maniak leleponan, aku sebal sekali sama orang yang sepertinya tidak bisa menunda telepon untuk melakukan pekerjaan yang utama, kecuali jika itu telepon memang telepon yang peeeeentiiiiing banget. Aku sudah berniat untuk menegur si mas-nya supaya dia mengerjakan pesananku dulu, baru setelah itu melanjutkan teleponnya, namun usaha jutekku ini terhenti sebelum aku membuka mulut ketika aku mendengar dengan siapa si mas ini berbicara. Entah pacar atau entah kecengan, yang jelas mereka berbicara mesra dan saling melempar rayuan gombale mukiyo.
Aku sebal, tapi sekaligus ingin tersenyum, dan berusaha berpikir sabaaaarr… bahwa mungkin ada bagusnya si mas nelpon si cewe, dan mungkin akan berdampak bagus pada mi rebusku, karena dimasak dengan perasaan cinta. Aku percaya, bahwa makanan akan lebih nikmat jika dimasak dengan suasana hati yang baik, sedang jatuh cinta misalnya…
Setelah si mas selesai nelpon, dia berkomentar singkat pada temannya, “aku ini buaya, kok dikadalin” kemudian, dengan seperti tanpa berpikir, si temannya menjawab, “kancil saja bisa diakalin, ya buaya pasti bisa dikadalin juga”
Great! Aku tersenyum lebar dan merasa terhibur.
Dan kemudian, otakku yang cuma segede kepalan tangan ini langsung menghubungkan kata-kata itu dengan pemikiran bahwa, bukankah kita semua… aku, kamu dan dia… selalu berusaha ngadalin dan ngakalin calon pasangan sebelum resmi menjadi pasangan?! Sama seperti bunga bangkai yang menebarkan aroma ‘mangsa’ pada serangga pemangsa yang kemudian malah menjadi mangsa si bunga?! Sama seperti laba-laba yang dengan ketekunan memintal sarang dengan maksud menjebak serangga lainnya untuk kemudian diisap saripatinya hingga mati?! Sama seperti belalang betina yang menawarkan persetubuhan sebelum memenggal si belalang jantan?!
Hmm….
You are trapped! Kamu terkecoh, terjebak dan… nikmatilah hidup. Apa hubungannya? Entah, otakku masih belum bisa menguraikan simpulnya.
Tapi… tapi… bukankah kita semua memang mencari jebakan? Memintal harapan, menawarkan kenikmatan… untuk menjebak dan juga terjebak.
Sepanjang jalan menuju kos, sambil minum teh kemasan rasa dukun, pemikiran ini berputar-putar di kepalaku, membuat aku tersenyum ironis. Aaah…. hidup, betapa rasanya menyenangkan. Ada amarah, omelan tak berujung, tapi juga kenikmatan kecil berupa humor yang tak terduga.
Errr… sepertinya, aku perlu mengungsi ke tempat mas Ken sejenak, minum teh sambil makan kue kecil, lalu tidur dalam pelukannya, supaya otakku berhenti berputar-putar dalam nebula ungu untuk sejenak, dan yang terpenting, aku behenti mengomel, karena mas Ken tau benar bagaimana membuatku diam.
Ya sutrah.
Eh, apa? Mi rebusnya rasanya gimana?! Well, pedas manis dan ada sedikit bau gosong yang malah membuat si pedas manis ini medok banget, dinikmati bersama teh hangat yang wasgitel (wangi, panas, legi tur kentel) pasti akan membuat penikmatnya merasa seperti pulang kampung, tengah malam kelaparan dan dimasakin sama si ibu yang drama queen. Tapi, kalau males bikin teh yang wasgitel, teh rasa dukun juga boleh… sedikit lebih masa kini rasanya.
Leave a Reply