Aku sudah memilih untuk mencintainya. Tapi aku tidak bisa memilih untuk tinggal bersamanya, aku bahkan tidak punya pilihan untuk itu. Aku punya hidup yang lain meski aku mencintainya.
“Kamu yakin, kamu mau pulang?”
“Tentu saja, aku bahkan tidak punya rencana untuk tinggal”
“Meskipun aku memohon?”
“Aku ingin lihat kamu memohon padaku, cobalah”
Kami berciuman lama sekali. Lagi-lagi aku berharap, bahwa waktu akan berhenti saat ini, di saat aku berada dalam pelukannya, di saat ia menciumku. Aku selalu berharap, ah, bisakah kau hentikan harapanku Ken?
“Aku mencintai kamu Ga, aku ingin kamu tinggal bersamaku, tapi tak berani menahanmu, ternyata aku juga tak berani memohon”
Ken, dalam laki-laki ini kulihat aku. Kulihat diriku yang ragu-ragu, kulihat diriku yang gelisah, kulihat aku dalam dia. Aku ingin begini selamanya atau waktu berhenti saat ini, hingga momen ini abadi.
Namun waktu tidak bersahabat denganku, ia titik yang terbakar habis ketika aku melewatinya hingga aku tak bisa kembali untuk mengulangnya, siapa sih dulu yang pernah bilang waktu adalah aku dan rutinitasku. Ah, aku tidak bisa mengulang momen ini, Ken bisa saja menciumku seribu kali lagi, tapi titik waktu yang kami lewati tidak sama.
“Aku mencintai kamu, sungguh”
Aku menginginkannya untukku.
Aku tetap menginginkannya meski aku pernah merasa sedih ketika kehilangan dia, pernah berada di frekwensi nol untuk waktu yang lama, hidup tapi juga mati, tertawa sekaligus menangis dan mimpi buruk dengan rasa dingin yang menyakitkan.
Jika waktu berulang, aku tetap ingin mengalami hal yang sama.
Malam itu, terakhir kami bersama, Paris masih indah, ah Paris kan memang selalu indah.
Tengah malam aku terbangun dan kudapati aku sudah tidak di pelukannya lagi, ia tidak ada di sampingku. Ia meninggalkanku lagi. Tapi mungkin juga tidak, aku keluar dari kamar, kulihat pintu depan terbuka, Ken pasti sedang di teras rumahnya.
“Hai,” bisikku pelan di telinganya, dan kupeluk ia dari belakang.
“Aku memandang bulan yang sudah bersembunyi lagi, aku mencari bintang juga”
“Ketemu?”
“Kamu, kamu kan Vega, bintang pencinta”
Ia melepaskan tanganku dan kemudian menarikku, sekarang ganti aku yang dipeluknya, ganti ia yang menciumi aku.
“Indahnya Paris kalau kita bisa selalu begini”
“Aku yang merasa indah kalau kamu selalu begini”
“Kamu suka sekali bermain kata-kata ya?”
“Kata-kata yang suka kalau kumainkan”
“Apa bedanya?”
“Obyek dan subyek”
“Siapa obyek dan siapa subyek?”
“Siapa aku dan siapa kamu?”
Kami bercinta di teras rumahnya. Bulan belum sepenuhnya bersembunyi, bintang hanya berkelap-kelip lemah, letaknya terlalu jauh. Tapi aku tak peduli, toh aku bisa membuat bintang juga.
“Aku takut sekali jika ini mimpi, tidak nyata”
“Apakah itu kenyataan? Cuma sekedar visualisasi dari sel-sel kelabu otak kita? Dan jika itu kenyataan, seperti apakah mimpi?”
Tak ada beda ini kenyataan atau mimpi bagiku. Aku terombang-ambing antara masa lalu, sakit hati sekaligus rasa cinta, penantian yang berujung dan pertanyaan yang masih belum terjawab. Aku seperti pernah berada di titik ini. De Javu. Kengerian yang indah.
Leave a Reply