Menjelang neh… menjelang…. menjelang makin tua….
Sudah empatbelas hari berlalu di tahun 2008, tapi kayaknya masih belum ada kemajuan nih dari pola berpikirku yang masih melompat-lompat seperti anak kodok. Kemarin, setelah menuntaskan Dinasti Yesus dan membaca ulang For Matrimonial Purpose – Kasvita Deswani, aku baca The Space between Us, lupa yang ngarang sapa, dua buku yang terakhir adalah cerita fiksi. Di tengah-tengah baca The Space Between Us, aku nangis termehe-mehe, sedih, kasian, terlalu menghayati… nggak banget deh, alhasil, nggak keluar kamar seharian karena mata bengkak, hari ini, bengkaknya masih keliat, pas ditanya temen, kok mata bengkak, aku jawab aja salah pilih warna eye shadow 😆
Nggak tahu, nyambung atau nggak, tapi baca 2 buku fiksi itu mengingatkanku akan harapan. Di buku yang pertama, Anju, gadis India yang punya keinginan sederhana, membahagiakan orangtua dengan pernikahan tapi sekaligus ingin bahagia. Buku yang kedua, yang mana sebenarnya aku belum selesai baca, tinggal sedikit lagi, karena keburu ngantuk dan sedih, jadi tak meneruskan baca, cerita terjalin antara Bhima dan Sera, dua wanita yang hidup di Bombay dengan kelas yang berbeda. Dua wanita, dua harapan sederhana, bahagia.
Sepenting itukah menjadi bahagia? Sesederhana itukah hidup, hanya menjadi bahagia?!
Aku ingin hidup yang sederhana. Cukup dengan menjadi bahagia. Hanya masalahnya, perjalanan untuk menjadi bahagia itu tak pernah sederhana. Ketika kita masih hidup di dunia ini, bahagia dan tak bahagia selalu silih berganti.
Katanya kan, kita hidup di dunia ini untuk tujuan-tujuan tertentu, jika tujuan itu terpenuhi, maka kembalilah kita pada Sang Khalik. Jika, tugasku sudah purna, sudah terpenuhi, aku pun kembali padaNya, menghembuskan napas terakhirku ke dunia, kupikir, jika saat itu tiba, maka itu akan menjadi hembusan napas yang bahagia, itulah kebahagiaan yang akhirnya tak silih berganti dengan tak bahagia. Jadi, harapanku cuma untuk mati, menghembuskan napas terakhir dengan bahagia? Sederhana sekali… tapi (lagi-lagi) menurutku, kematian tidak pernah sederhana. Hidup tidak akan pernah bisa jadi sederhana, sekeras apapun aku berusaha untuk jadi mahluk yang sederhana.
Ya nggak sih?!
Aaaargh…. nggak tau nih, aku kenapa…. kayanya, menulis pun aku melompat-lompat… sutralah…. kayaknya aku memang harus balik lagi ke Jl. Sederhana* deh…
*Terakhir di Bandung, aku tinggal di Jl. Senang, sebelum itu aku tinggal di Jl. Sederhana… jadi inti posting ini? :rotfl: silahkeun menertawaken aku… memang… aku masih kangen Bandung….
Leave a Reply