Mudik kemarin, tidak pernah sekalipun aku terlepas dari pertanyaan: “kapan?”, kamsudnya, apalagi kalau bukan, kapan kawin? Dan, pertanyaan itu selalu, catet dengan huruf besar: SELALU mampir di telingaku dalam awal percakapan dengan siapapun juga. Ketemu sama tetangga yang datang ke rumah untuk mengucapkan selamat natal, ketemu dengan teman-teman lama, dengan teman-teman nyokap, dengan teman-teman gereja ataupun orang-orang tua di gereja, ketemu saudara… tidak ada satupun orang yang tidak menanyakan hal itu. Basa-basinya juga standar, kurang lebihnya begini:
Orang-orang itu: “Waaah… mbak Lily… libur lama ya? Makin cantik aja, kapan?”
Aku dengan senyum dipaksakan tapi sedikit nyengir ge er karena dibilang cantik: “Nggak libur, cuti dan nggak lama, makasih, kapan apa? Belum punya pacar kok”
Standar. Nggak berubah. Dan yang perlu digaris bawahi adalah, pertanyaan itu selalu diajukan setiap orang yang bertemu denganku! Bahkan keponakan-keponakanku yang kecil-kecil pun ikut-ikutan mak-mak dan bapak-bapaknya nanya-nanya, “tante, tante pacarnya siapa? Kapan sih tante menikah?”
Ya ampun… apa aku kelihatan tua banget? Apakah laki-laki benar-benar penting? Harus ada gitu dalam setiap hidup wanita? Kenapa mereka lebih peduli tentang laki-laki dalam hidupku daripada menanyakan kabarku? Apakah aku bahagia? Apakah aku cukup senang pindah ke Jakarta? Kenapa mereka malah nanyain laki-laki?
Nggak, aku nggak anti sama yang namanya pernikahan, aduuuh… mau banget malah. Masalahnya cuma satu: aku nggak suka dipaksa-paksa dan juga tidak berminat memaksa-maksa diriku untuk menyambar laki-laki yang asal laki-laki untuk jadi pendamping hidup. Lagipula, sekarang kan aku lebih takut nggak punya duit daripada nggak punya laki-laki.
Astaga, mereka nggak lihat apa aku cukup bahagia dengan hidupku sekarang?! Aku cukup nyaman dengan keadaanku yang jomblo nggak puguh ini?! Kenapa mereka sibuk menciptakan situasi dimana aku harus segera menyambar laki-laki manapun yang lewat di depanku untuk dipamerkan di acara keluarga dan kondangan? Booo… kalau yang lewat Keanu Reeves mah, gak usah disuruh, pasti udah langsung aku samber, perlu atau nggak perlu laki-laki, kalau mas Ken, siapa sih yang mau nolak? π
Aku jadi ingat beberapa peristiwa yang cukup lucu dan yang lebih bodor, aku baru sadar sekitar beberapa hari yang lalu. Dan kejadian-kejadian ini menimpaku dalam kurun waktu kurang dari dua tahun ini. Detail cerita tak usah aku ceritain ya, tapi intinya begini: ada beberapa laki-laki berbeda, dengan level pertemanan berbeda, dan kondisi yang berbeda, juga waktu yang berbeda, namun tak terlalu lama jaraknya. Mereka datang dengan maksud yang jelas-jelas tersirat dan tersurat bahwa kami, berpotensi untuk menjadi pasangan, bahkan ada beberapa yang menyatakan, “mari, menuju ke level selanjutnya”. Bukannya aku sok atau apalah, tapi aku sudah bukan anak kemarin sore lagi kan, kalau aku sudah merasa, ini sepertinya bukan laki-laki yang diciptakan untukku, untuk apa aku mesti buang-buang waktu untuk pdkt dan semacamnya? Toh, dengan hubungan kami selama ini kami cukup nyaman dan senang?
Daaan…. semua laki-laki itu memang bukan laki-laki yang diciptakan untukku, karena sebenernya mereka sedang menghitung hari menuju hari pernikahan mereka!
Yaa… yaa…. ketawa aja. Bodornya lagi, aku baru ingat semua kejadian-kejadian itu dan memetakan polanya beberapa hari yang lalu.
Anjrit! Laki-laki ya bo….
Yang aku agak-agak khawatirkan adalah kondisi yang selalu terjadi berulang ini, apa yang ada di otak mereka ya? Apa yang mereka lihat dari aku ya? Apa aku cuma ge er? Emh… mungkin aku cuma ge er, tapi bo… itu jelas banget, tersirat dan tersurat loh… taela… aku bukan abg lagi kan… dan pertanyaan yang paling mengkhawatirkan adalah, mungkin mereka melakukan itu (acara gr meng-gr-i itu) karena mereka melihat aku sebagai jomblo yang haus laki-laki? Hadoooh…. itu sangat mengkhawatirkan, karena aku nggak merasa haus laki-laki tapi nggak nyadar kalau sebenernya haus laki-laki. Nah, belibet yak… ya pokona gitulah…
Pas aku kemudian cerita-cerita ke salah satu temanku tentang hal ini, dia bilang gini, “nggak kok, aku ngeliat kamu tuh nggak haus laki-laki, kam itu malah sepertinya nggak perlu laki-laki, mandiri dan kuat, tapi kamu itu sebenernya sangat rapuh dan sangat ingin dicintai”
Maaak!!! Parah, tidak membantu, malah mengarahkanku pada kesimpulan yang lebih parah.
Hm.. mungkin aku nggak merasakan bahwa aku seperti apa yang diungkapkan temanku, tapi bukankah, kita tidak bisa melihat rupa sendiri kita tanpa cermin? Ya… mungkin itulah image-ku yang sebenernya. Haus laki-laki.
Well, aku memang haus laki-laki saat ini, perlu banget untuk segera bereproduksi, pensiun kerja untuk jadi ibu rumah tangga dengan uang belanja tanpa seri jadi bisa belanja-belanja sepuasnya dan yang terpenting perlu banget laki-laki untuk membungkam mulut orang-orang di kampung halamanku biar lain kali kalau aku mudik, mereka akan nanya hal lain, bukan nanyain laki-laki lagi.
Eh… eh… eh… bukankah semua orang adalah orang yang rapuh dan perlu dicintai ya?!
Alah, sudahlah, aku cuma sekedar menyampah kok…
Leave a Reply