Sabtu & Minggu kemarin, aku dengan tak tahu malunya betah ngendon di acara Kenduri Kuliner Nusantara, berpanas-panas ria di stand Jalan Sutra, baru tahu ternyata mesti daftar jadi volunteer dulu baru bisa bantuin 😛 tapi ya itu tadi… aku gak punya malu banget, ngendon gitu aja… ngobrol seru sama anak-anak yang lagi jaga… selain itu, stand JS depan-depanan sama Mi Ameng Pontianak yang enak… hehehe gak penting banget yak…
Yang rame kami bicarakan kemarin adalah tentang malingsia… hohohoho… tetangga kita yang satu itu, yang pede banget mengakui kebudayaan dan kekayaan gastronomi tetangga dekatnya. Kan si malingsia ini nggak cuma bermasalah dengan Indonesia sajah, tapi Philipina, Thailand & Singapura juga.
Salah seorang teman bilang, “gue penasaran loh, reog itu kan pake bahasa jawa, nah orang malingsia manggungga gimana ya? Apa cuma menggumam gitu? Trus nyindennya gimana yak? Apa cuma menyen-menyen gitu yak”
Yang satu lagi menambahkan, “dasar negara gak punya pahlawan… dia kan kemerdekaannya dikasih bukan diperjuangkan! Ya gitu deh… negara kalo gak punya pahlawan, gak punya malu”
“Udah… ganyang aja si malingsia ini” aku.
Teman satu lagi menambahkan, “gampang banget kalau kita mau jahat sama malingsia, kita persenjatai semua TKI yang sudah ada di sana, suruh nembak majikannya satu-satu”
😆 memang… memang… grundelan kami ini gak penting dan kami memang hanya menyampah.
Kebetulan sekali, pulang dari acara itu, aku membawa satu buku pinjaman dari teman yang berjudul Hidangan Betawi, ini buku resep masak sih sebenernya, tapi yang seru, di buku itu juga ada cerita sejarah makanan itu.
Ada sejarah singkat tentang Jakarta, ada juga beberapa uraian singkat tentang asal mula makanan Betawi, yang mana sebenarnya dalam setiap makanan itu sebenarnya ada pengaruh dari bermacam-macam bangsa, seperti Cina, Arab, India, Portugis, Belanda.
Percaya gak, bahwa sebenarnya nama semur jengkol itu diambil dari bahasa Belanda, smoor, yang berarti dimasak dalam waktu beberapa lama di atas api kecil. Jadi Semur Jengkol adalah, jengkol yang dimasak dalam beberapa lama di atas api kecil. Nah… nah…. seru kan ya… kalo mau detilnya, beli aja tuh bukunya.
Ini baru Betawi ya… pasti di daerah-daerah lain juga banyak kekayaan gastronomi juga budaya yang dipengaruhi oleh bangsa lain yang kemudian berasimilasi menjadi aset kuliner & budaya lokal. Fakta yang diingatkan lagi ke aku ini, membuat aku langsung merasa bangga, bahwa kita tidak pongah dengan serta merta menghilangkan fakta tentang pengaruh-pengaruh bangsa lain yang membentuk aset lokal kita. Mungkin pemikiranku salah, tapi aku bangga aja, menjadi bagian dari orang-orang yang bisa berkata jujur bahwa, budaya kami, mendapat banyak pengaruh dari budaya peradaban lain dan itu menjadikan kami besar. *haiiiyah… kok jadi mbulet gini sih…*
Haaah…. intinya, malingsia, kayaknya memang bukan bangsa yang berbudaya, nggak ngerti sejarah… kalo ngerti sejarah… harusnya dia tau dong, bahwa wajar saja jika ditemukan sedikit budaya Indonesia di wilayah Malaysia karena bukankah dulu mereka pernah menjadi bagian dari kerajaan Majapahit dan Sriwijaya?! Wajar saja jika banyak kekayaan gastronomi mereka yang mirip dengan makanan Indonesia, karena bukankah Sultan-Sultan mereka berasal dari tanah Bukittinggi?! Lagian, kalo memang banyak kesamaan kosakata pada bahasa Nasional kedua negara, ya wajar bangetlah…. sama-sama berasal dari bahasa Melayu gitu loh… meskipun aku jauh lebih cinta dan lebih enakeun dengar bahasa Indonesia & bahasa Melayu aseli daripada denger bahasa Malaysia… Dan yang pasti…. budaya kan ‘sampahnya’ manusia, bagian dari karakter, tingkah laku… proses pembentukannya panjang dan sampai sekarang pasti akan terus berevolusi *halah* bukan barang hasil produksi, kok ya langsung main paten aja sih?! ANEH!
Jadi, nggak tau malu banget sih lo malingsia…
huh….
Leave a Reply