Entahlah, apakah ketiganya mempunyai pengertian yang sama atau tidak. Aku selalu menganggap ketiganya tidak jauh berbeda.
Dulu, waktu masih kecil, untuk sebuah pertanyaan, “apa cita-cita kamu?” aku punya segudang jawaban, mulai dari polisi wanita pembasmi kejahatan, desainer pakaian, perias pengantin (belum kenal istilah make up artist), koki, insinyur pertanian, diplomat, wartawati, penulis, artis, arsitek, penari, atlet renang nasional, pendeta, menteri atau presiden (kamsudnya sih politikus, tapi belum kenal istilah itu), kemudian pernah bercita-cita juga sebagai ahli bahasa, tukang foto (kamsudnya fotografer), wanita karir sampai jadi ibu rumah tangga.
Memang, aku tidak pernah konsisten dalam bercita-cita sejak dulu. Seorang teman, sejak dulu bercita-cita ingin jadi Dokter Anak, sekarang dia sudah mencapai cita-citanya itu. Teman yang lain, yang pernah bercita-cita jadi Insinyur, sekarang setelah mencapai gelar Sarjana Teknik Industri menjadi seorang Ibu Rumah Tangga yang baik dan benar. Aku? Emh… masih nggak konsisten. Masih mempunyai impian untuk jadi penulis nggak penting, juga berharap suatu saat akan memiliki rumah makan sendiri, iya… benar-benar rumah makan, tempat orang makan… 😆
Hari Sabtu kemaren, ketika berdandan sambil menunggu teman menjemput untuk acara malam mingguan kami, aku dan dua orang teman mengobrol soal harapan, lebih tepatnya, membicarakan harapanku, “serius da… selain pengen jadi penulis, gua pengen banget punya rumah makan”
“Cocoklah ama hobi lu yang suka makan itu”
“Iya, trus toko buku, butik, salon juga”
“Waduh… yang bener yang mana?”
“Ya tiga-tiganya… kamsudnya, satu komplek itu ada rumah makannya, trus ada toko bukunya merangkap kaya perpustakaan gitu trus ada salonnya ada spanya jugak… trus ada butiknya juga”
Memang, aku terlalu berkhayal, sehingga dua temanku cuma bilang, “Ruth, kayanya lu krisis identitas deh”
Ketika kami berangkat ke acara malam mingguan kami (lihat Bandung dari atas bukit), kami melewati Kartikasari, salah satu temanku bilang, “wah, ini Kartikasari omzetnya berapa ya? Dia kerjasama sama pemilik kebon pisang kali ya?”
Aku menjawab, “gua mau tuh jadi supplier pisangnya”
“Perasaan, baru sejam yang lalu lu pengen punya rumah makan, salon, butik ama toko buku?!”
Lalu sampailah kami ke atas bukit, indahnya lampu-lampu gak jelas, nikmatnya wine yang kami bawa dan nyamannya suasana pertemanan kami, membuat aku melontarkan keinginan lagi, “gua berharap neh ya… gua punya rumah di atas bukit, bisa liat Bandung dari atas pas malem, trus tiap hari gua undang kalian dateng, duduk-duduk di balkon rumah gua”
Dan, harapan itu ditanggapi dengan kalimat, “beneran deh, krisis identitas”
Hari Minggu paginya, sebelum ke gereja, kami menyempatkan diri untuk berenang, dan aku lagi-lagi berkomentar, “nanti gua pengen punya kolam renang juga, gua mau jadi pelatih renang jugalah…”
“Ruth, lu kayanya bener-bener masih mencari jati diri deh”
😆
Sampai hari ini, aku masih belum konsisten dengan apa yang aku mau, apa cita-citaku, harapanku atau impianku. Krisis identitas? Mencari jati diri? Mungkin ya mungkin juga tidak. Namun sejak dulu, aku selalu ingin hidup bahagia. Serius ini. Bukannya sekarang aku nggak / belum bahagia, tapi aku menganggap, jika aku bisa menjadi apa yang aku inginkan, maka aku akan bahagia. Bahagia melakukan apapun yang aku mau. Sekarang, hanya dengan menulis blog nggak penting dan berkata-kata menyampah seperti ini saja, aku juga sudah cukup bahagia. Jadi, nggak ada masalah kan kalau aku belum bisa memutuskan untuk konsisten dengan cita-citaku?!
Posting ini kok garing banget ya?
😆 memang, aku makin lama memang makin garing kok… tak apalah… yang penting aku bahagia juga senang…
PS. masih sedih juga seh… tapi ya sutralah…
Leave a Reply