Di sebelah Hotel Savoy Homann, ada sebuah gedung tua yang bernama de Vries, juga dikenal sebagai ruko Padang, nggak ada unsur arstitektural Padang sih di gedung ini… Arsitek gedung ini…. emh, yang nge-guide aku kemarin gak ngasih tau tuh 😆 namun yang jelas, gedung yang bergaya romantic ini, dulunya adalah dept. store pertama di Bandung. Memiliki satu menara yang merupakan ciri bangunan yang dibangun pada awal 1900-an. Saat ini, kondisi gedung kuno ini sangat mengenaskan, ada beberapa kaca yang pecah, konon itu akibat lemparan batu bobotoh yang marah karena Persib kalah… hiks, sayang…. trus dah gitu, kayana pemilik gedung ini juga menunggu ambruknya gedung ini, sebab katanya dulu ketika gedung ini mau diruntuhkan, beberapa aktivis berunjuk rasa untuk menentangnya, yasud… daripada ngerubuhin di-demo mendingan ditungguin rubuhnya aja… sayang banget ya… ada option lain gak sih, untuk melestarikan bangunan kuno ini tapi juga bisa memanfaatkannya sebaik mungkin… diperbaiki trus dbikin restoran ato apa gitu?
Dari gedung itu, kita berjalan ke Masjid Agung Bandung, uhuy… alun-alun… Konon, alun-alun ini sering dipakai untuk transaksi PSK, makanya banyak bodoran yang beredar mengenai WTS depan masjid… hiks, ironis sekali yah, bahkan katanya sampai sekarang masih ada beberapa PSK yang mangkal disitu. Seorang teman yang asli Bandung, excited banget pas kita nyampe di alun-alun ini, dia bilang, dia punya foto dia waktu kecil di alun-alun ini, katanya suka ada mang tukang foto polaroid yang mangkal di alun-alun, kemaren, kami sempat tolah-toleh sapa tau si mang itu masih ada, mau difoto juga 😛 Saat ini, alun-alun kota bandung sudah direnovasi dan dilengkapi dengan banyak bangku juga air terjun. Kata guide, konon, alun-alun Bandung ini sangat terpengaruh oleh budaya Mataram yang dulu pernah menguasai tanah Parahyangan. Dengan pola catur warga, di keempat penjuru alun-alun, berdiri Masjid, pusat perbelanjaan, pendopo sebagai pusat pemerintahan dan penjara sebagai representatif dari hukum. Jadi ingat alun-alun kota Nganjuk (warning: ini benar-benar nama kota, bukan berarti ngutang 🙂 lain kali aku bakal nulis sejarah Nganjuk deh)
Sebelum kami naik ke salah satu menara Masjid Agung, kami berjalan terus ke makam Dalem Kaum I a.k.a. Raden Wiranatakusumah II (1794-1829) yang merupakan Bupati ke-6 Bandung sekaligus pendiri kota Bandung modern. Jalan masuk menuju makam, nyempil diantara lapak para pedagang kaki lima. Dari dulu, aku sudah tahu sih, kalau disitu ada makam Dalem Kaum, tapi gak pernah belok, karena lebih tertarik beli dvd bajakan dan pernik2 gak penting lainnya 8) . Selain disini, ada makam Bupati-Bupati Bandung lainnya di Jl. Karanganyar.
Setelah dari makam, kami kembali ke Masjid Agung dan mengantre untuk naik ke salah satu dari menara kembar yang baru dibangun setinggi 86 meter. Ceuna, satu menara itu menghabiskan dana 2 milyar untuk pembangunannya… wah… Masjid Agung sendiri, dibangun tahun tahun 1875 dan sudah mengalami 8 kali renovasi dalam 2 abad ini. Sampai di atas menara, seperti biasa, aku selalu termehe-mehe kalau lihat sebuah kota dari atas 🙂 yah… meskipun pemandangan Bandung dari atas tidak bagus, mengingat kepadatan dan kesemrawutan penataan kotanya, aku cukup terharu. Di kejauhan nampak jalan layang Pasupati dengan pilarnya yang khas… sayang, cuaca sedikit berkabut, sehingga ketika dipotret kurang jelas.
Turun dari menara kami langsung menuju Pendopo Bandung yang dibangun pada tahun 1810-1812 dan digunakan oleh Wiranatakusumah II sesaat setelah berpindah dari Krapyak ke Bandung. Saat ini, pendopo yang direnovasi lagi pada tahun 1995 ini, dijadikan tempat tinggal Walikota Bandung. Tadinya, kami dilarang masuk ke dalam, karena Bapak Dada Rosada sedang kurang enak badan dan sedang ada acara. Wah, kami cuma mau lihat lonceng kembar yang ada di halaman pendopo. Tapi kelompok kami sedang beruntung, kami diperbolehkan masuk, namun kelompok setelah kami tidak diijinkan masuk 😦
Dari situ, kami langsung menuju ke Jl. Banceuy, melewati gedung Swarha, yang dibangun tahun 1955 untuk keperluan akomodasi para tamu & wartawan KAA pertama. Kondisinya saat ini… menyedihkan! Lantai pertama masih dipergunakan sebagai pertokoan dengan nama Toko Indra, jualan apa saja aku nggak tau, aku belum pernah masuk 😛 sedangkan lantai atasnya dibiarkan terbengkalai. Kami menyeberang menggunakan jembatan penyeberangan yang dibangun dengan sangat tidak artistik (maaf) juga kotor!
Gedung selanjutnya adalah Kantor Pos Bandung yang dibangun pada tahun 1928. Gedung dengan arsitektur Art Deco ini dirancang oleh J. Van Gent. Awalnya, gedung ini adalah kantor telegraf, sempat menjadi markas militer pada masa perang kemerdekaan, katanya juga sempat jadi rumah sakit buat PS, whua… itu mungkin karena deket alun-alun?
Di seberang kantor Pos, adalah gedung Bank Escampto yang dibangun tahun 1915, Bank pertama di Bandung. Bangunan ini punya menara yang ada jam di kedua sisinya, yang sebelah masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Saat ini, depergunakan sebagai gedung Bank Mandiri, warnanya biru gonjreng bo!
Dari situ, kami berjalan menyusuri Jl. Banceuy dan masuk ke area ruko Banceuy, ternyata oh ternyata… di tengah kepadatan ruko yang kotor ituh, masih berdiri sebuah sel tempat Soekarno pernah ditahan dulu dan tempat beliau menysun pembelaannya yang terkenal itu, Indonesia Menggugat di tahun 1933. Ya, ruko-ruko yang dibangun pada tahun 1984 ini berdiri di area bekas penjara Banceuy yang dibangun pada tahun 1877. Yang tersisa dari penjara Banceuy saat ini adalah hanya sel Soekarno dan menara penjaga saja. Kondisi kedua situs sejarah ini, cukup memprihatinkan, bau pesing, kotor dan ditiduri tunawisma. Ugh!
Setelah ngomel panjang kali lebar kali tinggi, kami kembali melanjutkan penelusuran ke Gedung PLN yang dibangun pada tahun 1933. Dirancang oleh arsitek, C.P. Wolf Schoemaker. Dikenal dengan gaya Indoeuropesch stijl, gedung PLN ini di bangun di atas sungai Cikapundung. Di gedung ini pula, terdapat sumur Bandung, yang merupakan sumur tertua di Bandung dan konon ceritanya, air dari sumur inilah yang dipergunakan untuk membangun banyak gedung-gedung pada awal berdirinya Bandung. Air di sumur Bandung ini, katanya juga, tidak pernah habis, selalu segar dan dapat diminum langsung tanpa dimasak, padahal menurut seorang teman, sumur Bandung ini, pada jaman Bandung kuno dipakai untuk tempat memandikan kuda.
Leave a Reply