“Kamu berutang penjelasan padaku, Ken”
“Kupikir kita sudah impas”
“Maksudmu?”
“Tak ada yang bisa kujelaskan padamu”
Seketika aku ingin memukulnya hingga mati demi melampiaskan amarah; mana mungkin dia tak perlu menjelaskan apapun padaku? Ia telah meninggalkanku begitu saja! Setelah apa yang sudah kami lalui bersama… tidak pantas ia memperlakukanku begini. Tapi aku tak ingin ia mati, ia terlalu tampan untuk mati sia-sia karena amarahku. Aku hanya bisa bergumam lirih, “kamu harus menjelaskannya padaku Ken”
Ken diam. Aku memandanginya lekat, berusaha mengetahui apa yang dipikirkannya, berusaha menyelidikinya. Aku tahu ia selalu sebal jika aku melihat dengan cara seperti itu, “seperti ditelanjangi! Caramu menatap itu keterlaluan, kamu harus hati-hati dengan matamu jika memandang seperti itu, menyebalkan tahu!” Dan sepertinya, ia belum berubah, seketika itu juga ia memalingkan wajahnya.
Aku tahu aku semakin menyebalkan, tapi aku tak bisa berhenti sekarng, sudah tidak bisa berhenti dan tidak ingin, mungkin. “Aku menginginkan penjelasanmu”
Ia masih diam dan tak memandangku.
“Apa sulitnya menjelaskan alasanmu padaku Ken? Apa susahnya berkata-kata?”
Ia masih tak bergeming.
Aku mulai menyesali kata-kataku yang terlontar sia-sia, ah, tapi apakah penyesalan itu? Aku selalu menyesal telah membuka mulut dan memuntahkan kata-kata tapi mungkin akan lebih menyesal jika tak melakukannya. Tapi melihatnya seperti itu, aku dikoyakkan lagi oleh rasa, tanpa bisa kucegah, aku mulai menangis menumpahkan semua amarah, kecewa, sakit hati sekaligus cinta yang tak pernah berhenti untuk laki-laki ini, “Ken… kenapa kamu jahat sama aku?” isakku menyesali laki-laki yang kucintai. Laki-laki yang pernah berkata ingin membangun kehidupannya denganku, yang juga pernah berkata amat mencintaiku,”aku mencintai kamu, sangat… dan akan selalu begitu sampai kapanpun, sekarang mungkin terdengar gombal tapi nanti ketika tanganmu mulai keriput dan aku sudah renta, maka cinta itu tampak nyata” Ia pernah mengatakannya tapi kemudian menghilang tanpa jejak, membiarkanku lebur bersama waktu. Sesaat kemudian ia kembali, mengumpulkan serpihanku yang tersisa dan membakarnya ketika pergi.
Aku seringkali mengumpat pada diri sendiri, “aku memang bodoh”
Dan kebodohanku seperti de javu, aku sudah pernah mengalaminya di masa lampau, mungkinkah kehidupan kami berulang dan ia selalu berutang padaku dan tak pernah membayarnya? Itu sebabnya kami mengulang hidup kami? Agar ia bisa melunasinya?
Ken, laki-laki tampan ini, betapa aku mencintai dia.
“Aku mencintai kamu Ken” kataku dalam isak tangis yang menyesakkan.
“Ga… berhentilah…” akhirnya ia membuka suara, “berhentilah Ga…”
“Tak bisa kuhentikan diriku Ken,” aku memandang sosoknya yang kabur oleh airmata, “tak bisa… aku selalu mencintai kamu juga menangis karena kamu”
“Aku tidak layak untuk itu”
“Aku tahu! Aku cuma tak bisa berhenti”
Ken menatapku tajam, meraihku dalam pelukannya, “kalau begitu… kita juga jangan berhenti” ia kemudian menciumku.
Aku ingin waktu berhenti saat ini meski aku tak ingin berhenti meminta penjelasannya.
*Ah, Ken… aku punya banyak cinta, memang sebagian besar untuk kamu… tapi sayangnya aku cuma punya satu hati dan kamu sudah membawanya pergi. Harus bagaimana aku dengan sisa cinta yang lain Ken?
(Jika Vega adalah Zara, dan aku adalah mereka mungkin akan seperti ini kejadiannya… sayangnya… aku selalu berada diluar arena… ugh! Kangen Ken, Keanu kamsudnya… )
Leave a Reply