Tentu saja, merasa ‘dewasa’ dan ‘bebas’ di Bandung belumlah lengkap tanpa dugem. Jaman dulu, aku dan teman-temanku belum kenal istilah ini, kami menyebutnya ke disko! Hehehehe memang, masih bawaan jaman revolusi itu istilahnya.
Sayangnya, tempat kos-ku yang di Tubagus itu tidak mengijinkan anak-anak kosnya kelayapan malam, padahal, provokator bandelnya malah anak si Ibu Kos 😀 . Salah satu cara untuk melarang kami keluar malam, si Ibu mengunci pintu samping yang biasanya dipakai anak kos untuk keluar masuk, sehingga lewat jam sembilan malam kami sudah tidak bisa mengakses pintu itu dan mau tak mau harus lewat pintu depan dengan resiko diomelin dan diceramahin. Dengan keadaan ini, jadilah, kami – para cewek-cewek badung ini memutar otak untuk ‘ngabur’, kadal berusaha ngakalin buaya, kami menduplikat kunci pintu samping, sehingga kami bebas keluar masuk kapan saja.
Suatu ketika sesaat setelah beres ujian dan menjelang libur, kami merasa perlu refreshing dengan ke disko 😀 strategi diatur, dua orang bakal kabur sebelum jam sembilan, pura-pura bakal nginep di rumah teman, dua orang lagi kabur lewat pintu paviliun kamar anak Ibu Kos, dan dua lagi (aku dan seorang teman) akan kabur lewat pintu samping, pakai kunci yang biasa. Strategi ini sudah teruji dan biasanya berjalan dengan baik. Tibalah pada jam J yang telah ditentukan, kami mulai bergerak. Eh, tapi kok ruang keluarga si Ibu Kos masih rame yah… waduh, gimana bisa ke pintu nih ya? Soalnya, pintu samping ini lokasinya dekat dengan dapur yang nyambung dengan ruang keluarga, kurang sigap ata gaduh sedikit pasti menimbulkan kecurigaan. Sempat berbisik-bisik dengan temanku, “Na, gimana nih? Gak jadi aja gitu?”, temanku langsung menyanggah, “jangan… gue udah janjian nih sama Kak Fei, yaelah elu… gitu aja takut, jalannya pelan-pelan lu… mepet sini aja, nggak keliatan kali…” Baiklah, demi bergaul 😀 aku rela mengendap-ngendap dan menahan napas supaya tidak berpotensi menimbulkan kegaduhan. Akhirnya, kami selamat sampai ke pintu, temanku keluar duluan dan aku yang kebagian mengunci pintu. Ketika pintu sudah hampir tertutup, sialnya kebetulan sekali pada saat yang bersamaan anak Ibu Kos yang masih SMU pas ke dapur dan melihat pintu yang setengah tertutup dengan sesosok mahluk mencurigakan memegang handle pintu dari luar (mahluk itu aku 😛 ) dan teriaklah dia… “Mamah… maling!” Whua… otomatis aku dan temanku langsung pandang-pandangan dan kabur ke tempat persembunyian terdekat. Seperti kebanyakan rumah di Bandung, rumah kos kami ini, letaknya di lereng bukit yang banyak banget tangga-tangga curam ke jalanan atas, pintu samping rumah kos ini, pas banget dekat tangga dan di sampingnya ada sumber mata air yang biasa dipakai untuk mencuci di pagi hari dan malam hari banyak digunakan untuk menyimpan gerobak bakso, tentu saja, kami langsung berlari ke arah situ, karena kalau langsung naik tangga pasti langsung ketahuan dan lari ke arah lain sangat nggak mungkin karena melewati pintu depan rumah kos. Jadilah, kami jongkok di antara gerobak-gerobak bakso itu. Dan dari arah rumah, anak Ibu kos yang laki-laki dan Bapak kos mulai menyisir area dekat persembunyian kami. Aduh… kebayang dong itu… betapa deg-degannya kami kalau sampai ketahuan, kebayang malunya. Aku dan Bena cuma bisa pandang-pandangan, karena takut bersuara, aku benar-benar berdoa bahwa Bapak kos dan anaknya tidak naik ke tangga ke jalanan atas, sebab kalau begitu posisi kami pasti bakal kelihatan jelas dan habislah kami. Aduh… aku keingat sama si Mamah di rumah, wah pasti nanti dia malu banget nih kalau anaknya ‘tertangkap’ karena mau pergi dugem, meskipun si Mamah sebenernya oke-oke aja aku pergi malam, asal jaga diri baik-baik ajah… tapi gak kebayang dong malunya dia di depan Ibu kos-ku. Dalam detik-detik yang menentukan itu 😀 rupanya, jantung kami dipaksa untuk bekerja lebih keras, dari arah atas, turunlah beberapa cowok yang ngekos di depan rumah kos kami dan mereka melihat ke arah kami sambil menunjuk-nunjuk, aku dan Bena langsung memasang jari telunjuk di depan mulut sambil memasang wajah memelas supaya mereka tutup mulut dan nggak ngomong apa-apa. Untungnya, mereka baik hati dan ketika berpapasan dengan Bapak kos & anaknya, yang bertanya ada orang nggak di atas, mereka menjawab, “nggak ada tuh”. Kami aman. Tapi kami memerlukan beberapa menit tambahan sebelum meninggalkan ‘tempat jahanam’ itu, sampai keadaan benar-benar sepi dan napas kami normal kembali.
Hingga sekarang, kalau ingat kejadian itu, aku bisa terbahak sendiri, betapa konyolnya aku waktu itu. Dandan gaya, pake heels tapi ngumpet sambil jongkok di jajaran gerobak bakso 😀 . Dan selama nge-kos di Tubagus, aku punya banyak kejadian dan cerita konyol seputar dugem, mulai dari disangka maling sampai trik ngumpetin pakaian olahraga di semak-semak pinggir jalan! Makin dilarang untuk keluar malam, kami makin berhasrat untuk membangkangnya dengan segala cara. Dan begitu pindah kos-an yang lebih permisif soal jam dan kebiasaan jalan malam, kegiatan dugem ini malah mereda, apalagi sekarang ketika aku malah punya kebebasan penuh dengan tingal di rumah kontrakan, nggak ada tuh keinginan dan ‘nafsu membara’ untuk jalan malam seperti dulu.
Yah… karena selain aku yang makin uzur 😀 , aku juga berpikir, segala sesuatu itu pasti ada fasenya. Dulu jaman abg, badungnya ya badung yang itu… sekarang badungnya ya badung yang ini, kamsudnya nge-blog terus dan nggak gawe 😀
Leave a Reply