Mentari menghela nafas kuat-kuat, ketika sore itu dia membuka pintu rumah kontrakannya yang berantakan sperti kapal pecah, kasur yang terbalik, sprei yang baru diganti tadi pagi dan terpasang dengan rapi sudah kusut membelit bantal guling yang seperti berbercak-bercak basah, container plastik yang terguling, mainan-mainan yang terserak, argh… Dan pusat dari chaos itu, dua malaikat kecil yang manis itu, sedang duduk bersisian menonton televisi, sambil si sulung Lintang menyuapi Vega adiknya.
“Ibu!” seru dua bocah perempuan itu.
Tari menghembuskan nafas kuat-kuat, kelelahan setelah seharian bekerja, bos yang banyak maunya dan politik kantor membuatnya lelah, ia selalu ketakutan apakah ia bisa bertahan di kantornya, hari ini bekerja tapi bagaimana kalau besok dipecat? Dan bagaimana nasib du putri kecilnya ini? Ia ingin sekali langsung pingsan di kasur yang tertata rapi tadi pagi namun dua bocah manis ini sedang menatapnya berbinar-binar, Tari jelas melihat kebahagiaan di mata keduanya melihatnya pulang, si kecil Vega malah kemudian lari memeluknya, “aku kangen Ibu” lalu ia menggelendot manja.
“Ibu, tadi Adik naik lemari lagi! Loncat ke kasur, tadi juga hampir mecahin foto Ibu yang disana” lapor si sulung, “tadi siang Adik juga nggak mau tidur, malah main tanah sama Shinta, nggak mau makan juga, katanya Adik nggak mau makan sop, Adik ingin makan telur dadar, Kakak nggak bisa buat”
Tari ingin meledak dalam kelelahan fisik dan emosinya, tapi ada dua bocah perempuan manis di sampingnya, ia bahkan tak punya sekedar kekuatan untuk meneteskan airmata melihat keduanya tumbuh tanpa ada orang dewasa yang menjaga, iabelum lagi menemukan orang yang bisa membantunya menjaga dua anaknya. Tari ingin juga memarahi mereka yang terlalu akttif, lari kesana-kesini dan membuat berantakan semuanya, dan tak henti-hentinya berceloteh membisingkan telinganya, tapi Tari tak sanggup, ia terlalu lelah dan tak rela menghabiskan sedikit energi yang tersisa itu untuk hanya sekedar membentak keduanya agar diam, “iya gitu Dik” tanya Tari pada si bungsu, sambil mengambil piring dari si sulung dan mulai menyuapi mereka berdua, “tadi Adik bandel ya? Nggak mau nurut sama Kakak?”
“Nggak kok, Kakak aja yang nakal, marah-marahin aku” Vega yang hapir lima tahun itu kemudian berceloteh.
“Nggak, aku nggak marahin Adik”
“Iya! Tadi Kakak marahin aku, trus nyubit aku dua kali Bu!”
“Karena kamu nakal!”
“Nggak!”
“Iya! Kamu nakal, kamu pukul aku tadi pagi” lalu Lintang menggelendot di bahu Tari yang satunya lagi, “sakit Bu… dipukul sama Adik” lapornyamanja. Boleh jadi, Lintang adalah anak perempuan umur enam tahun yang paling mandiri sedunia, bisa menjaga adiknya selama Tari bekerja, ia juga mampu mengurus makan untuk dirinya sendiri dan si kecil. Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Tari selalu menyiapkan sayur untuk makan siang kedua buah hatinya itu dan ketika siang tiba, Lintang akan memanaskan sayur agar nikmat dimakan. Tapi bagaimanapun mandirinya Lintang, dia tetap masih anak-anak yang manja.
“Adik, kenapa pukul Kakak?” tanya Tari pada si kecil untuk menengahi keduanya.
“Nggak sengaja Bu, tadi adik senam begini” kata si kecil sambil berdiri dan merentangkan tangan lalu memutar pinggangnya setengah lingkaran, “trus kena tanganku kena Kakak”
“Oh, begitu, bilang dong sama Kakak, Adik nggak sengaja, maaf ya Kak, gitu dong”
“Udah, tapi Kakak cubit aku, jadi aku pukul lagi”
“Sakit Bu…”
Tari tahu, putri keduanya memang lebih kuat dari kakaknya, jadi pukulan si kecil itu memang benar-benar menyakitkan Lintang, tapi ia tak bisa membela salah satu, keduanya harus tahu bahwa apapun yang mereka katakan sebagai pembelaa, tidak seharusnya dilakukan dua orang yang bersaudara, hah… “sudah… sudah… jangan diperpanjang lagi. Sekarang dua-duanya harus minta maaf. Kakak nggak boleh nyubit adik sembarangan trus Adik juga nggak boleh membalas mukul Kakak, tidak boleh main fisik, mengerti?!”
“Diperpanjang apa sih Bu?” tanya si kecil polos, “panjang seperti mi kesukaan aku ya Bu?”
“Main fisik apa sih Bu” tanya si sulung menambah Tari pusing.
Yah, mereka memang masih kecil… mungkin aku yang salah dengan menggunakan kata-kata sulit, batin Tari, “ehm… diperpanjang itu… ” Tari berhenti untuk meyakinkan dirinya bahwa penjelasannya akan mudah dimengerti oleh keduanya, “… emh, diperpanjang itu tidak usah diomongin lagi, sudah tidak perlu ngadu lagi ke Ibu, harus sudah memaafkan, nah ngerti?” Tari menghela nafas lega ketika melihat si kecil menganggukkan kepalanya dengan mantap.
“Kalau main fisik apa Bu?” si sulung menuntut jawabannya.
“Iya Bu, apa?” si kecil ikut-ikutan bertanya.
Tari bersyukur punya dua anak-anak yang cerdas dan aktif seperti dua putrinya ini, tapi kadang-kadang itu sungguh melelahkan. Apa susahnya mereka langsung saling meminta maaf tanpa perlu bertanya arti kata-kata sulit dalam kalimat nasehat ibu mereka?! Tapi Tari juga tidak ingin memutus keingintahuan mereka dengan menggertak keduanya dengan kata-kata jangan bertanya lagi.
“Main fisik itu… mencubit, memukul! Pokoknya yang kena badan itu namanya main fisik, seperti pegang kepala gini” kata Tari sambil menjentuskan kepalanya dengan tangannya, “nah, kena badan gitu namanya main fisik, nggak boleh ya”
“Oh… iya…”
“Nah, sekarang maaf-maafan”
“Kak, maafin aku ya”
“Iya Dik, maafin aku ya…”
“Nah, gitu, ayo cium Kakaknya, Dik”
“Main fisik Bu?”
Argh… “sudah, jangan dperpanjang, ayo cium Kakak, cium Ibu juga”
“Ibu mau main fisik juga?”
Tari menghela nafas lega ketika kedua buah hatinya itu telah tidur terlelap beberapa jam kemudian. Mereka terlihat tenang dan damai. Siapa yang bisa menduga bahwa dua malaikat berwajah lembut dan manis itu punya energi yang tak ada habisnya, mampu memporak-porandakan rumah dan menjungkir-balikkan semua isinya.
Tari selalu kelelahan menghadapi kedua malaikat berdinamit tinggi itu, membereskan semua kekacauan yang mereka buat, menjawab semua keingintahuan mereka. Terlebih, Tari lelah sendirian bertanggung jawab, ia ingin sekali-kali libur dari perannya sebagai orangtua tunggal.
Tari tidak bisa mengharapkan suaminya ikut membantu. Laki-laki yang mempesonanya itu tidak pernah akan jadi pria dewasa dalam tujuh tahun kehidupan pernikahan mereka. Ia masih saja asyik dengan hidupnya sendiri. Berpetualang kesana kemari, sibuk dengan mimpi omong kosongnya, lupa bahwa masih ada istri dan dua anak dalam kenyataannya.
Ketika terbangun sejenak dari mimpinya, barulah laki-laki itu datang lagi ke Tari, meminta maaf dan berjanji akan menjadi ayah dan suami yang baik esok hari. Meski Tari tahu baha ‘esok hari’ itu tak pernah datang dalam kamus lelaki itu, Tari selalu luluh dan menerimanya lagi. Demi anak-anak dan cinta yang pernah kami miliki, begitu bisik Tari ketika membujuk dirinya menerima lelaki itu lagi. Lalu pola yang sama akan terulang. Lelaki itu tidur dalam cinta yang penuh maaf, bermimpi dan menghilang lagi.
Kemudian, tinggallah Tari sendirian, membanting tulang demi keluarga kecilnya. Bukan, bukannya ia keberatan melakukan semua itu demi kedua putri kecilnya, ia sangat mencintai mereka dan berharap yang terbaik bagi mereka. Tapi, bukan ini harapan yang dibangunnya ketika ia mengikuti lelaki itu dulu.
Ah, lainkali aku harus menolaknya jika ia kembali. harus kuat! Iya harus! Aku berharap, aku bisa lepas darinya dan membangun keluarga kami lebih baik, begitu bisik Tari setiap malam, kata-kata yang diucapkan seperti mantra ketika ia merindukan lelaki itu, mendampinginya dengan kedua buah hatinya. Yah… bagaimanapun ia suaminya, ayah anak-anaknya, ia selalu menjadi yang teristimewa bagi keluarga kecilnya. Ia juga selalu menjadi harapan Tari. Hanya saja, seringkali hidup tak membiarkan harapan menjadi kenyataan, tapi biar begitu Tari tetap hidup untuk berharap lebih, semoga kali ini menjadi kenyataan.
(untuk temanku, hidup selalu penuh kejutan, jangan pernah berhenti berharap untuk kejutan indah yang disiapkan Hidup untuk kita. Matahari terbit setiap hari, itu harapan yang paling pasti. Chayo!)
Leave a Reply