Menunggu Kekasih

“Kamu mencintainya?”

“Mungkin… aku tidak yakin”

“Kenapa bisa nggak yakin?”

“Itu juga aku nggak tau, pastinya aku merasa aku harus menunggunya”

“Meskipun itu akan menghabiskan waktumu?”

“Waktuku tidak akan habis. Hari ini berlalu, tapi aku akan punya esok hari”

“Bagaimana jika esok tak pernah datang dan kamu cuma bisa menunggu?”

“Setidaknya aku sudah menunggu”

“Kamu tidak menyesal hanya bisa menunggu?”

“Apakah penyesalan itu? Apakah ia sebuah titik di garis waktu yang terlewati begitu saja?”

“Penyesalan itu adalah menunggu yang hanya menanti tanpa kejelasan akan kesudahan penantian, penyesalan itu adalah waktumu yang telah habis”

“Apakah penyesalan itu termasuk harapan yang terjadi sebaliknya?”

“Mungkin”

“Jika memang begitu, aku tidak akan pernah menyesal menunggunya”

“Kenapa?”

“Karena harapanku adalah hanya untuk menunggunya, menunggu ia yang mungkin tak pernah datang kembali padaku…”

“Ah! Kamu  sudah mengatakannya padaku, ia mungkin tak akan datang lagi kan… untuk apa kamu menunggunya?”

“Jangan memotong ucapanku”

“?!”

“Yah… mungkin ia tak pernah datang lagi… Kekasih yang tak pernah kembali untuk membayar utangnya padaku, diautang seratus ribu perak, dasar! Itu kan uang arisan!”

“Hah?!”

Sebenernya, aku juga nggak ngerti, otakku abis dapet nutrisi apa waktu lagi nulis ini, nggak sengaja nemu dari selembar kertas, bekas bungkus apa yang nggak jelas, nyelip ajah di tengah-tengah berkas-berkas.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: